Kuasa di Balik ”Anda”
Oleh : DR. IWA LUKMANA, MA.
PADA kolom Wisata Bahasa (Pikiran Rakyat, 7/1/2006), Edi Warsidi mengulas kata "anda" sebagai kata ganti (pronomina) orang kedua. Disebutkan bahwa kata tersebut tidak membedakan tingkat, kedudukan, dan usia, dan diproyeksikan untuk berfungsi sebagaimana kata you dalam bahasa Inggris.
Sayang ada aspek yang justru sangat penting dan mutakhir, tapi tidak terbahas. Pertama, penggunaan kata "anda" saat ini sudah tidak sesuai dengan semangat awalnya. Kedua, penggunaan istilah rujukan untuk orang kedua, termasuk "anda", bernuansa sosiokultural.
Ihwal pertama, demokrasi dan egalitarianisme begitu mewarnai penciptaan kata "anda". Pronomina ini diharapkan sebanding dengan kata you dalam bahasa Inggris, yang netral secara sosial: dapat dipakai oleh siapa saja, untuk merujuk siapa saja, dari pengemis hingga petinggi. Dalam hal ini, kesetaraan dan solidaritas dikedepankan.
Apakah kini kata "anda" berfungsi setara dengan you? Ternyata tidak. "Anda" tidak dapat dipakai dalam sembarang situasi. Misalnya, apakah orang tua nyaman memakai "anda" kepada anaknya? Ini bukti bahwa semangat awal penciptaan kata tersebut telah terkontaminasi.
Ihwal kedua, sistem pronomina orang kedua terkait dengan sistem nilai. Brown & Gilman (1960) membahas istilah rujukan dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa. Dikatakan, bahasa Inggris punya istilah rujukan yang netral, you. Namun bahasa-bahasa lain memiliki dua pronomina yang mencerminkan oposisi solidaritas-power, seperti tu-vos (Latin), tu-vous (Prancis), dan du-Sie (Jerman). Ketika solidaritas dikedepankan, bentuk pertama (tu, du) cenderung digunakan. Sebaliknya, ketika power atau hirarki dikedepankan, digunakanlah bentuk kedua (vos, vous, Sie).
Dilihat dari sisi ini, bahasa Inggris sangatlah egaliter. Dalam sejarahnya, bahasa Inggris sendiri pernah memiliki bentuk thou dan you; yang pertama bernilai solidaritas, yang kedua bernuansa hierarki. Belakangan orang Inggris melebur keduanya menjadi you saja, meskipun thou masih dipakai secara sangat terbatas. Dapat dikatakan mereka telah berhasil mengegaliterkan bahasanya.
Bagaimana dengan kita? Tampaknya semangat penciptaan kata "anda" terganjal oleh sistem nilai kita yang masih mementingkan hierarki, dasar dari feodalisme. Hasilnya, bukannya menjadi istilah yang netral, kata "anda" malahan "menggerecoki" (kita boleh sih menghibur diri dengan kata "memperkaya") sistem rujukan yang sudah ada, yang berisi misalnya kata kamu, saudara, dan engkau, yang tidak satu pun netral secara sosial.
Masyarakat Indonesia bagaimanapun masih hierarkis. Yang membedakan satu masyarakat dengan yang lainnya adalah sejauh mana masyarakat tersebut membesar-besarkan hierarki lewat penanda-penandanya. Kita masih menggila-gilai berbagai penanda hierarki, seperti pakaian, gelar, dan sejumlah ungkapan bahasa. Dalam berpakaian, misalnya, haji perlu beda dengan non-haji. Urusan gelar, kini orang beramai-ramai mengejar gelar akademik dan religius. Dalam penggunaan bahasa, ada kata-kata yang tidak boleh dipakai sembarangan, seperti berkenan dan menghadap. Intinya, kita masih mengotak-kotakkan orang secara sosial, hingga tidaklah aneh bila misi awal kata "anda" gagal total.
Pendeknya, karena sistem sosial kita belum dapat menerima konsep egalitarianisme, kata "anda" yang diciptakan untuk berfungsi egaliter akhirnya berubah menjadi hierarkis juga. Hebatnya, kita sering menghibur diri dengan kata "hormat", padahal konsep hormat dalam budaya kita sangat bernuansa feodal.
Rekayasa bahasa seperti ini pernah juga menjadi wacana dalam budaya Sunda (misalnya dalam "Medan Bahasa" tahun II, 1957). Beberapa orang Sunda mengusulkan kata yang setara dengan "anda", di antaranya dang, deh, dan elir. Wacana tersebut hanya menjadi polemik yang tidak berbuntut.
Sejarah kata "anda" memang penuh liku. Sayang (atau beruntung?) semangat awal penciptaannya tidak dapat bertahan, tidak mampu menembus tirai sistem nilai kita yang masih power-based. Tapi sebagai sebuah upaya, ini patut dihormati. Apakah suatu hari kita akan memiliki istilah rujukan setara you? Mungkin saja, ketika kita sudah tidak perlu mencium tangan atau membungkuk-bungkuk lagi kepada orang lain, ketika kalangan yang memiliki power sudah rela untuk tidak bernyaman-nyaman dalam feodalisme lagi.
Penulis, Dosen Pend. Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
Politik Bahasa untuk Integrasi Bangsa
Oleh : DR. E. AMINUDIN AZIZ, MA.
PADA usia kemerdekaan negeri ini memasuki 60 tahun, persatuan dan kesatuan bangsa memperoleh ujian yang teramat berat. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tengah diuji dengan beragam persoalan kebangsaan yang di antaranya menyudut ke arah disintegrasi bangsa.
Sepertinya Sumpah Pemuda yang 77 tahun lalu diikrarkan oleh para pemuda Indonesia untuk menggapai cita-cita unifikasi menuju Indonesia yang satu, sudah tak ampuh lagi menyatukan dan mengatasi berbagai perbedaan yang ada. Tak pelak lagi, komitmen agung dalam butir-butir Sumpah Pemuda telah ternodai.
Ancaman disintegrasi para separatis di sejumlah wilayah bangsa dewasa ini menimbulkan konsekuensi melonggarnya ikatan fusi tersebut, terutama komitmen untuk berbangsa dan bertanah air satu, walaupun tampaknya komitmen pada kesatuan bahasa masih tersimpan sejumput harapan.
Politik Bahasa Nasional
Politik bahasa merupakan masalah yang pelik. Selain bisa mengatasi permasalahan yang nantinya berujung pada kesatuan suatu bangsa, politik bahasa bisa juga memicu konflik antar negara atau antardaerah. Sungguh beruntung bangsa Indonesia ini karena masalah bahasa sudah dapat tertangani dengan baik, bahkan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, yakni melalui ikrar besar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang berisi tekad kuat untuk menjunjung dan bahkan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Di dalam sejarahnya, bahasa Melayu (yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia) bukanlah bahasa etnis besar di tanah air ini. Penuturnya sangat jauh dibanding penutur bahasa etnis lainnya seperti bahasa Jawa dan Sunda. Anton Moeliono menyatakan, pada 1928 populasi orang Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu sebanyak 4,9%, sedangkan bahasa Jawa dan Sunda berturut-turut 47,8% dan 14,5%. Dalam perkembangannya, bahasa Melayu menggeser bahasa etnis yang kecil dan menggoyangkan bahasa etnis yang besar. Melalui vernakularisasi, bahasa Indonesia menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Benar adanya bahwa bahasa Melayu pada mulanya merupakan lingua franca ketika orang Eropa pada abad ke-15 mendarat di Selat Malaka, tersebar mulai dari daerah timur yaitu Maluku, Filipina di utara dan barat Samudra Hindia.
Sesudah merdeka, peranan bahasa Indonesia semakin jelas dan nyata. Dalam pergaulannya dengan bahasa-bahasa yang sudah terlebih dahulu ada di tanah air, identitas bahasa Indonesia semakin mengemuka. Namun bukan berarti bahasa Indonesia aman dari masalah. Justru masalah kebahasaan di Indonesia cukup rumit, tidak hanya mencakup aspek bahasa saja, tetapi juga melibatkan aspek pemakai dan pemakaiannya. Dari aspek bahasa, bahasa Indonesia berhadapan dengan bahasa asing, dan bahasa daerah. Pemakaian bahasa mengacu pada ranah pemakaian bahasa.
Secara politik bahasa, bahasa Indonesia menggunakan model kebijakan "formula tiga-bahasa" (bahasa nasional, bahasa asing, dan bahasa daerah) yang menurut Kedreogo cocok bagi negara yang multilingual. Kebijakan serupa diterapkan di India. Tentunya kebijakan bahasa ini dalam realisasinya tetap berlandaskan pada Pasal 36 UUD 1945.
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia tumbuh ke arah bahasa tinggi dan bahasa rendah, terutama pada komunikasi lisan. Hal ini terlihat pada ungkapan tertentu yang dipakai oleh para pemakainya (khususnya ketika terkait dengan kekuasaan) yang semakin meluas, terutama ketika rezim Orde Baru berkuasa.
Pada era Orde Baru, bahasa Indonesia diajarkan kepada siswa kelas 3 sekolah dasar. Sekarang ini, anak taman kanak-kanak pun sudah mendapatkannya. Hal ini tentunya sangat menguntungkan karena bahasa Indonesia bisa lebih mengindonesia sejak dini. Sisi lainnya, kebijakan ini seperti mengebiri potensi bahasa daerah terutama, meskipun sebenarnya dalam praktik pengajarannya bisa diberikan secara paralel. Gebrakan baru pemerintah pada masa Orde Baru ini adalah diberlakukannya Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) tahun 1972. Sebelum adanya EYD, Bahasa Indonesia yang digunakan masih diwarnai oleh bahasa etnis masing-masing atau unsur lain dari bahasa asing. Pemberlakuan EYD ditujukan untuk mengakomodasi keragaman bahasa yang ditemukan di tanah air ini.
Disinyalir di beberapa negara di dunia ini, isu penggunaan bahasa menjadi sumber konflik dalam negeri, seperti yang terjadi di Filipina. Menurut laporan dari hasil studi McFarland, Filipina memiliki sekitar 120 bahasa etnis. Bahasa Inggris dan bahasa Filipino merupakan bahasa resmi negara bekas jajahan Spanyol dan Amerika ini, sedangkan bahasa nasionalnya adalah bahasa Filipino. Bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa resmi negara karena dominannya penggunaan bahasa ini di berbagai bidang sejak berakhirnya penjajahan Amerika. Sementara itu bahasa Filipino sangat berdasarkan pada Tagalog yang merupakan bahasa dari tiga etnis besar di Filipina. Dalam kenyataannya, fungsi dan kegunaan bahasa Filipino baik dalam bidang pemerintahan, pengadilan dan pendidikan banyak terkalahkan oleh bahasa Inggris.
Pemerintah Filipina mengeluarkan kebijakan dwibahasa. Bahasa Filipino hanya digunakan dalam pengajaran bahasa Filipino dan studi Sosial. Sedangkan bahasa Inggris digunakan dalam mata ajar bahasa Inggris, matematika, dan Sains. Bahasa Filipino hanya digunakan di awal-awal masa pengajaran, dan selebihnya bahasa Inggris. Walhasil, bahasa Filipino sulit berkembang. Ketidakmampuan bahasa Filipino memenuhi tuntutan globalisasi mengakibatkan penguasaan bahasa Inggris semakin meningkat. Identitas kebangsaan negara ini semakin pudar dan terancam krisis.
India yang juga bekas jajahan Inggris, mendapatkan pengalaman yang kurang lebih sama hanya berbeda musababnya. Terjadi resistensi politik dari para pendukung bahasa etnis besar di bagian selatan India (bahasa Dravida dan Bengali) terhadap penggunaan bahasa Hindi sebagai bahasa nasional selain bahasa Inggris. Konstitusi 1950 yang memproklamasikan Hindi sebagai bahasa nasional terpaksa diamendemen untuk menghindari konflik antar etnis. Kebijakan baru menetapkan 12 bahasa sebagai bahasa resmi regional. Sedangkan bahasa Hindi dipilih sebagai bahasa nasional karena meskipun usianya baru 100 tahun, menurut Ghose dan Bhog bahasa ini memuat elemen-elemen dari bahasa yang usianya jauh lebih tua seperti Sansekerta, juga dari bahasa-bahasa regional dan lokal.
Kedua kasus di atas menggambarkan politik bahasa. Pertama, masalah dapat muncul karena adanya ketidakpuasan dari pihak pemakai bahasa atas ketidakmampuan bahasanya mengikuti tantangan zaman (kasus Filipino). Yang kedua adalah karena adanya kecemburuan sosial dari penutur bahasa etnis kecil terhadap etnis besar (kasus India). Lebih jauhnya apabila etnis kecil tidak ”berdaya” terhadap etnis besar, hal itu bisa mengakibatkan kematian bahasa.
Tampaknya, menyadari kemungkinan terburuk tersebut terjadi, pemerintah Indonesia cepat tanggap mengantisipasi potensi munculnya konflik karena bahasa ini. Menyikapi tantangan zaman atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah, pemerintah melalui Pusat Bahasa bekerja sama dengan para pakar dalam disiplin ilmu tertentu menerbitkan berbagai kamus. Bahasa di kalangan etnis-etnis kecil maupun etnis-etnis besar diupayakan untuk dipertahankan. Dalam pelaksanaannya kebijakan yang diterapkan pemerintah Indonesia berbeda dari negara-negara lain di dunia.
Untuk menangani masalah kecemburuan etnis ini, negara seperti India, Tanzania, atau Spanyol menerapkan kebijakan bahasa resmi regional. Sementara itu, Indonesia melakukannya melalui penerapan kebijakan muatan lokal dalam dunia pendidikan, yaitu program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah yang perlu dipelajari murid. Selain hal-hal tersebut, tentunya media massa, guru bahasa Indonesia, penyuluhan bahasa Indonesia, pelibatan organisasi kepemudaan, kepedulian para petinggi negara maupun daerah sangat berperan dalam upaya pengindonesiaan bangsa.
Namun, dalam pengejawantahannya ada kendala. Dalam hal pengajaran, terlihat bahwa bahasa Indonesia tidak kontekstual dengan budaya lokal. Materi yang diajarkan di Pulau Jawa (sebutlah di pusat pemerintahan ibu kota Jakarta) sama dengan materi yang akan harus disampaikan di Papua. Perhatikan misalnya contoh-contoh latar budaya buku teks bahasa Indonesia di sekolah dasar yang sangat Pulau Jawa sentris dengan tokoh bernama Budi dan keluarganya. Kecerobohan lainnya kebanyakan terkait dengan sikap mental para pemakai bahasa yang terkadang kurang lihai menempatkan diri atau kurang bisa berperilaku bijak. Masih ditemui para oknum petinggi di negara kita yang kurang memedulikan seruan Pusat Bahasa akan norma bahasa, seperti penggunaan kata-kata: daripada, yang mana, di mana, dan saudara-saudara sekalian. Atau, masih ada di antaranya yang secara disengaja beralih menggunakan bahasa daerahnya dalam acara-acara resmi keindonesiaan.
Sering sekali ditemui, ketika oknum tersebut bertemu dengan sesama etnisnya, mereka langsung beralih menggunakan bahasanya sendiri, walaupun perlu diketahui bahwa hal itu tidaklah salah. Akan tetapi, secara norma pergaulan, cara seperti itu menunjukkan lemahnya sensitivitas budaya penuturnya di tengah-tengah keberagaman yang sedang ia hadapi. Apabila hal ini terjadi pada level elite, maka bisa memicu terjadinya konflik kepentingan yang eksesnya dapat terlihat dalam power sharing, pendayagunaan aspek ekonomi, dan kedekatan personal. Ekses negatif lainnya terutama, bila etnis minoritas memiliki semangat primordialisme tinggi terhadap etnis mayoritas, yang bisa menimbulkan stereotip terhadap etnis mayoritas dan yang lebih parahnya hal itu bisa mengantarkan pada munculnya resistansi terhadap etnis ini. Secara kasarnya, hal ini menimbulkan kesan imperialisme bahasa dalam bingkai keindonesiaan yang lebih modern.
Politik bahasa ke depan
Seiring dengan otonomi daerah, seharusnya kebijakan bahasa pun tidak lagi sentralistik karena dalam penyelenggaraan pemerintahan atau yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan baik secara langsung ataupun tidak, kebijakan ini secara politik telah dipergunakan oleh para elite untuk mengakomodasi kepentingannya memperkokoh dan memperpanjang waktu kekuasaan mereka. Di sisi lain, kenyataan di beberapa tempat malah memperlihatkan rendahnya dukungan politis dari lembaga politik daerah yaitu eksekutif dan legislatif terhadap pengembangan bahasa daerah.
Bagaimanapun, Indonesia termasuk salah satu negara yang sukses dalam politik bahasa. Bukti-bukti sejarah dan kenyataan mempersaksikannya. Walaupun demikian, masih ada celah yang harus ditutup agar bahasa Indonesia pada masa ke depan bisa lebih baik, di antaranya memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sudah lewat terutama yang terkait dengan imperialisme bahasa; politik bahasa Indonesia tetap mempertimbangkan aspek keragaman bahasa (tidak represif); politik bahasa Indonesia hendaknya tidak terlalu berkiblat pada bahasa-bahasa di daerah Jawa terutama dalam hal peminjaman kata dan istilah yang selama ini disinyalir lebih mengakomodasi bahasa-bahasa di daerah Jawa. Adapun adanya sikap kurang bijak para pengguna bahasa, yang dari segi potensi bisa memunculkan konflik bahasa, sepertinya masih bisa tertangani. Ini hanyalah letupan-letupan kecil agar bangsa ini semakin dewasa menghadapi permasalahannya.
Penulis, Dosen pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FPBS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
DIAMBIL DARI : PIKIRAN RAKYAT BANDUNG
Rabu, 14 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar