Politik Senyum dan Diplomasi Kultural
Oleh A. CHAEDAR ALWASILAH
TAHUN 2002 menurut Amien Rais adalah tahun yang sangat menyakitkan bagi bangsa Indonesia. Kasus peledakan bom di Bali telah menyudutkan kita bahwa Indonesia sarang teroris. Selain melejitkan tema terorisme, peristiwa Bali juga memunculkan hal "sepele," tetapi serius, yakni politisasi senyum dan jabat tangan tersangka Amrozy dengan Jenderal Polisi Da'i Bachtiar. Bagi pemirsa Australia, peristiwa itu menjengkelkan dan menunjukkan hilangnya rasa penyesalan dan simpati Amrozy bagi mereka yang telah kehilangan saudara atau kekasih tercintanya.
Siapa menyangka bahwa senyum dan jabat tangan akan menjadi tema perbincangan politik antara kedua negara. Andaikan saja Amrozy dapat menahan diri untuk tidak tersenyum terus-menerus dan andaikan publik Australia memahami makna emik (emic perspective) senyuman dalam kultur Indonesia, benturan budaya itu tidak akan dipolitikkan sedemikian gencarnya.
Saya jadi teringat minggu-minggu pertama bekerja sebagai penerjemah bagi konsultan Australia 20 tahun silam. Sebagai sarjana bahasa Inggris, saya dapat berkomunikasi dengan penuh percaya diri. Namun, suatu hari saya merasa dipermalukan. Dia tampak jengkel dan bertanya dengan nada marah, "Kamu menertawakan saya terus. Apa sih yang lucu pada saya?"
Senyum dalam budaya Indonesia
Secara kultural, tampaknya senyum sembarangan hahah-heheh (aimless smiles) sudah inheren dalam pribadi hampir semua orang Indonesia, terutama anak-anak dan orang dewasa saat nervous atau tegang seperti halnya sedang diwawancara, apalagi saat dikerubuti banyak wartawan bule. Para guru sering melihat senyum jenis ini pada siswa-siswa -- terutama SD -- yang tidak mengerjakan PR, datang terlambat atau tidak mampu mengerjakan soal-soal. Dalam contoh-contoh di atas, hahah-heheh tidak menyiratkan rasa gembira, bahagia atau menertawakan seseorang. Senyum jenis ini lebih merupakan kekhasan kultural (cultural mannerism) yang muncul sangat alami dan tanpa disadari.
Variasi atau perbedaan budaya dapat menyebabkan bentrokan kultural dalam kepribadian, cara menyelesaikan persoalan, cara berperilaku, sikap, dan gaya kepemimpinan. Dalam komunikasi silang budaya, seseorang seringkali tidak menyadari asumsi-asumsi kultural yang diyakini mitra bicara.Ia cenderung berperilaku dengan berpijak pada asumsi-asumsi kulturalnya sendiri. Dalam situasi demikian, ia cenderung mentransfer asumsi-asumsi budaya sendiri ke dalam konteks antarbudaya.
Berikut adalah contoh lain gagalnya komunikasi silang budaya sebagaimana dituturkan seorang responden dalam penelitian disertasi saya.
Tersebutlah seorang profesor Amerika beserta istrinya bermaksud menjenguk seorang mahasiswa Indonesia yang sedang dirawat di rumah sakit. Sang profesor menelefonnya terlebih dahulu, namun mahasiswa Indonesia itu dengan penuh hormat dan rasa bangga menjawabnya, "It's not necessary to see me as it would take your precious time. I am just OK."
Maka, berbunga-bungalah hati sang mahasiswa, merasa tersanjung akan dikunjungi profesor. Di luar dugaan, sampai malam hari sang profesor tak kunjung datang. Dalam pikirannya, ia telah mengingkari janji. Dalam pada itu, sang profesor berpikir bahwa mahasiswa itu menolak dikunjungi. Terbukti bahwa niat bersopan santun dan rasa hormat mahasiswa Indonesia itu dimaknai sang profesor Amerika sebagai sebuah penolakan atas kunjungan. Dalam kejadian ini tidak ada pihak yang benar dan salah. Yang pasti, bahwa keduanya menggunakan parameter kultural masing-masing.
Jadi, bagaimana mestinya kita mengatur senyum? Senyum adalah perilaku nonverbal yang seperti halnya perilaku verbal (berbahasa lisan) harus memenuhi empat pakem (maxim) pragmatik seperti diteorikan Grice (1975), yaitu (1) pakem kualitas, bahwa senyum ini harus jelas, benar, tidak pura-pura; (2) pakem kuantitas, bahwa senyum itu harus seperlunya, jangan berlebihan; (3) pakem relevansi, bahwa senyum itu harus relevan (cocok atau tidak) dengan konteks komunikasi; dan (4) pakem perilaku, yakni gaya senyum itu harus sesuai dengan konteksnya.
Sudut pandang budaya ketiga
Seorang komunikator silang budaya seperti diplomat, petugas humas, dan pelaku negosiasi internasional memerlukan pengetahuan yang disebut perspektif budaya ketiga (the third culture perspective). Budaya ketiga adalah budaya yang diperoleh lewat pendidikan dan pengalaman serta terdiri dari budaya sendiri dan budaya asing. Penguasaan sinergi kedua budaya, bahkan berbagai budaya merupakan tujuan instruksional dari perkuliahan pemahaman silang budaya atau cross-cultural understanding yang lazim disingkat CCU.
Dalam konteks keindonesiaan, konflik-konflik antaretnis dan antaragama, sesungguhnya dapat dijelaskan dengan teori komunikasi ini. Pemahaman silang budaya terasa sangat penting diajarkan, ditinjau dari perspektif internasional maupun nasional. Sayangnya, sistem pendidikan nasional kita selama ini belum maksimal mengajarkan kepada anak didik kesadaran dan apresiasi budaya etnis lain.
Seperti dikupas di atas, komunikator yang baik memiliki sudut pandang budaya ketiga untuk mewujudkan harmoni kultural yang pada intinya memerlukan tiga hal, yaitu pemahaman, toleransi, dan fleksibilitas.
Di sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti karawitan dan tari nusantara, termasuk bahasa, musik, dan pakaiannya, para siswa dapat dilatih untuk mampu mengapresiasi perbedaan-perbedaan budaya etnis. Begitu mereka mampu mengapresiasi perbedaan-perbedaan etnis dalam konteks nusantara, akan mudah bagi mereka untuk mengapresiasi perbedaan-perbedaan dalam konteks internasional.
Pembelajaran bahasa asing
Pada umumnya orang percaya bahwa penguasaan bahasa asing merupakan kunci suksesnya komunikasi global. Namun, dari contoh-contoh di atas, terbukti bahwa penguasaan bahasa asing saja tidaklah memadai. Pengetahuan linguistik dan kultural adalah dua hal yang berbeda. Komunikator yang baik mesti memiliki keterampilan berbahasa asing dalam konteks budayanya. Dengan kata lain, pembelajar harus diajari keterampilan berbahasa asing dengan pengetahuan dan pengalaman kulturnya..
Pembicaraan di atas mengingatkan kita akan kualitas pengajaran berbagai bahasa asing di Indonesia. Sekarang ini bahasa asing yang banyak diajarkan di sekolah dan PT adalah bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, Arab, dan Cina. Pertanyaan kita, sejauh manakah muatan-muatan budaya dan pemahaman silang budaya diintegrasikan ke dalam kurikulum bahasa-bahasa asing tersebut?
Untuk mengantisipasi komunikasi global, kita perlu menyertakan dimensi kelima dari bahasa. Secara tradisional, pembelajaran bahasa diartikan sebagai penguasaan empat keterampilan, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dimensi kelima dimaksud adalah pengetahuan budaya dari bahasa yang dipelajari. Guru bahasa asing yang profesional dituntut untuk memiliki kelima aspek itu.
Sebagai bahan perbandingan, perusahaan-perusahaan Amerika menghabiskan jutaan dolar untuk membiayai program-program pelatihan silang budaya (lazim disebut cultural orientation) bagi karyawannya yang akan ditempatkan di luar negeri agar mereka tidak mengalami kaget budaya atau culture shock. Dalam pada itu, hampir pada semua program sekolah bisnis (program MBA) ada mata kuliah international trade yang mencakup kajian comparative business culture.
Budaya Jepang, Amerika Latin, dan Cina -- khususnya budaya popnya -- sudah lama diperkenalkan lewat tayangan film-film dalam semua TV kita selama ini. Pertanyaan kita, sejauh mana budaya Indonesia diperkenalkan di luar negeri? Kita ragu apakah lembaga-lembaga pemerintah kita memiliki lembaga seperti The Japan Foundation, The British Council, USIS, dan CCF?
Membangun corong umat Islam
Ledakan bom di Bali tahun lalu -- suka atau tidak -- telah membuat citra Indonesia "negatif" di mata dunia. Bangsa kita dan umat Islam pada khususnya kini mendapat tekanan dunia internasional. Ini terbukti dengan dikeluarkannya travel warnings kepada warga negaranya oleh beberapa negara asing, khususnya Amerika, Australia, dan Inggris.
Apakah lembaga-lembaga perwakilan kita di luar negeri memiliki sumber daya manusia bidang PR (public relations) yang profesional? Tugas mereka antara lain mendesain program-program penyebaran informasi ihwal Indonesia secara terus-menerus. Program-program demikian membangun citra Indonesia di luar negeri dan membantu terwujudnya pemahaman silang budaya antara bangsa Indonesia dan bangsa lain. Mereka berkewajiban untuk segera menghapus citra "negatif" selama ini.
Dalam pada itu, organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga Islam di Indonesia sudah saatnya memiliki petugas-petugas PR yang bukan hanya memiliki pengetahuan luas ihwal ajaran agama dan keorganisasian Islam, tetapi juga mampu berkomunikasi dalam bahasa-bahasa asing, khususnya Inggris dan Arab dengan menggunakan segala jenis media. Manajemen PR ini tampaknya merupakan salah satu titik lemah organisasi-organisasi keislaman di Indonesia. Abad kini adalah abad teknologi informasi. Hanya komunikator-komunikator profesional yang akan mampu membangun citra di mata dunia internasional. ***
Penulis adalah Wakil Ketua Pusat Studi Sunda
Rabu, 14 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar