Rabu, 21 Mei 2008

Awan Hitam dalam Pendidikan

Awan Hitam dalam Pendidikan
Oleh Dandan Supratman

DUNIA pendidikan kita dari waktu ke waktu bukannya menampakkan wajah yang makin cemerlang, melainkan justru menampilkan roman muka yang kian terselubungi awan hitam. Masalah satu belum terselesaikan, hilir mudiklah persoalan lain yang menambah kecarutmarutan.

Karena itu, saya bermaksud menyampaikan ihwal pikiran dasar pembelajaran "mengajar dan mendidik". Sebab, jika pengelola kependidikan tidak mengenal paradigma didik, mengabaikan prinsip, mengucilkan teori, kurang belajar, miskin pengetahuan, maka yang dihasilkan adalah sumber daya manusia (SDM) yang bermasalah.

Kinerja profesional apa pun perlu dilandasi ilmunya. Setiap ilmuwan perlu menguasai konsep dasar keilmuannya sebagai ancangan untuk memahami, mengembangkan, dan memanfaatkan keilmuannya itu dalam konteks aplikasi yang operasional. Jika tidak, ia akan memahami dan memperlakukan keilmuannya itu serbasusah dan serbakeliru.

Kita tentu boleh saja jengkel melihat aneka kejanggalan yang dilakukan para pengelola kependidikan, guru, kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, dan sebagainya. Namun di balik itu, kita sesungguhnya sedang menangkap tanda bahwa mereka tidak menguasai paradigma keilmuan secara komprehensif dan benar. Produknya memang terbukti.

Manusia yang dihasilkan adalah manusia robot dan kasar, tak berhati nurani. Kekaguman kepada orang-orang yang berbudi, tersisih oleh kekaguman pada prestasi intelektualitas.

Padahal, yang kini dibutuhkan adalah manusia yang memiliki kecerdasan komprehensif dan kompetitif (Diknas, 2006). Lagi pula, persoalan pokok yang kita hadapi pada masa depan adalah persoalan mentalitas SDM yang berkinerja lemah, rendah kreativitas, tak punya malu, daya juang hilang, motivasi berprestasi tipis, lupa toleransi, malas kerja sama, abai pada kesantunan, anutan ala primitif, bergaya hidup konsumtif, hingga akhirnya Pancasila yang semesinya jadi kendali kini tinggal nama.

Maklumlah jika para orang tua mengelus dada atas gejala dekadensi moral itu. Pendidikan dianggap pelengkap, pengisi waktu luang; padahal pendidikan adalah jiwa penangkal malapetaka.

Membenahi mentalitas dan tata nilai seperti itu tidak mudah. Tidak dapat dilakukan dengan model pendidikan berdasarkan paradigma dan pendekatan, strategi, dan model-model pembelajaran tradisional, lalu diukur oleh hanya pendekatan evaluasi paper and pencil tests. Penilaian baru tuntas apabila dilengkapi dengan pendekatan asesmen alternatif.

Pendidikan memang menerapkan paradigma didik: jelas filosofisnya, prinsip-prinsipnya, kaya dengan teori-teorinya, metode dan tekniknya. Paradigma didik menjadi landasan perilaku kependidikan untuk mencapai kompetensi kecerdasan komprehensif dan kompetitif (Renstra Depdikbud).

Namun jika direnungkan, ternyata reformasi, desentralisasi, otonomi, dewan pendidikan dan komite sekolah, manajemen berbasis sekolah (MBS), kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan penilaian berbasis kelas (PBK) adalah pikiran dasar filosofis kependidikan. Adapun yang hendak saya ajukan berada pada tataran mikro kependidikan.

Kita boleh saja jengkel melihat aneka kejanggalan yang dilakukan para pengelola kependidikan, guru, kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, dan sebagainya. Namun di balik itu, kita sesungguhnya sedang menangkap tanda bahwa mereka tidak menguasai paradigma keilmuan secara komprehensif dan benar.

Ke Portofolio

Cobalah sekarang berpaling kepada strategi portofolio. Pembelajaran dengan strategi portofolio menghasilkan portofolio. Apabila evaluasi portofolio diterapkan, seharusnya pembelajarannya menghasilkan portofolio. Penilaian portofolio merupakan penilaian atas bukti proses dan hasil belajar. Proses pembelajaran dan penyusunan portofolio sesuai dengan program pembelajaran yang telah dirancang. Strategi portofolio dengan penilaiannya itu dapat merekam proses pembelajaran dan pendidikan, merekam capaian prestasi dan tata nilai secara komprehensif. Rancangan pembelajaran menjadi pedoman utama dalam penyusunan portofolio oleh peserta didik.

Desentralisasi, otonomi, konstruktifisme, dewan pendidikan, komite sekolah, manajemen berbasis sekolah, kurikulum berbasis kompetensi, dan kurikukum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah pikiran dasar kependidikan yang dimaksud, sedangkan strategi portofolio merupakan implikasi operasional model pembelajaran berdasarkan paradigma tersebut.

Itulah, pada hemat saya yang dimaksud dengan paradigma didik mutakhir yang menjanjikan itu.

Depdiknas sekarang berhasrat mewujudkan pendidikan yang mampu membangun insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif (insan kamil/insan paripurna), yaitu manusia yang memiliki berbagai kompetensi: cerdas spiritual, cerdas emosional sosial, cerdas intelektual, cerdas kinestetik, dan disempurnakan dengan cerdas ilahiah (iman, takwa, dan ibadah).

Pandangan konstruktifisme percaya bahwa keberhasilan, kesuksesan, atau prestasi, termasuk kesejahteraan seseorang, sangat bergantung kepada upaya orang itu sendiri. Karena itulah, dalam gelora reformasi, langkah demokratisasi, desentralisasi, dan otonomi daerah, gencar diperjuangkan, meski sampai sekarang masih belum tergapai-gapai.

Strategi portofolio yang saya jadikan contoh hanyalah contoh model pembelajaran dan pendidikan yang dilandasi pikiran-pikiran dasar tersebut. Diharapkan guru/dosen terus mengembangkan berbagai strategi dan model-model pembelajaran yang mempunyai landasan paradigmatik tertentu.

Pendekatan behavioristik yang selama ini dianut memang tidak keliru. Namun ternyata telah mengundang berbagai kesulitan, karena berbagai kemudahan yang memanjakannya. Pemerintah telah berusaha mengondisikan suasana belajar, menyediakan berbagai fasilitas dan sarana pembelajaran, dalam rangka melayani kebutuhan pendidikan. Namun nyatanya masih serbakurang dan serbatanggung. Misalnya sarana pendidikan olahraga, perpustakaan, buku paket, dan perbaikan gedung sekolah selalu bermasalah.

Pemerintah menjadi satu-satunya penanggung jawab penyedia fasilitas pendidikan. Behavioristik telah membuat guru berusaha meningkatkan pelayanan kepada peserta didik, bahkan guru selalu dijadikan kambing hitam atas kegagalan pendidikan yang dianggap pelayanannya kurang memuaskan.

Guru menjadi satu-satunya sumber belajar. Murid hanya menunggu guru berkiprah, dan guru menjadi satu-satunya contoh yang perlu ditiru. Bagi pendidikan dasar dan menengah, itu memang lebih cocok. Namun bagi tingkat akademi, perlu diperhatikan pendekatan dan pola pikir lain.

Di sisi lain, tingginya tingkat pengangguran dan ramainya PHK adalah wajar saja, karena mutu SDM itu tidak memenuhi syarat. Sekolah belum mampu menjamin kehidupan dan pekerjaan. Cukup ironis, jika alumnus perguruan tinggi penganggur intelektual mengharapkan pemerintah menyediakan lapangan kerja. Sampai-sampai mengirimkan surat pembaca di koran, meminta-minta pekerjaan. Padahal, pemerintah tidak berkewajiban menyediakan lapangan kerja.

Pada hemat penulis, kuno jika pemerintah diwajibkan menyediakan lapangan pekerjaan bagi setiap lulusan suatu lembaga pendidikan. Pemerintah bukan wajib menyediakan lapangan kerja. Juga ketinggalan zaman, jika sekolah hanya mengejar target kuantitas lulusan. Lucu jika sekolah merasa bangga bila dapat meluluskan banyak siswa, sementara soal mutu menjadi nomor kesekian.

Lemah Kelola

Semua permasalahan dalam kependidikan itu, awalnya karena pengelolaan pendidikan tidak diserahkan kepada ahlinya dengan tepat, baik pada tingkat manajerial maupun pelaksana.

The right man on the right place sudah dilupakan. Pendidikan sudah terlalu kuat ditunggangi ambisi politik, ambisi materialistik, dan ambisi kepentingan kelompok. Kini seyogianyalah, komando pendidikan tidak lagi terletak di tangan birokratik dan berfungsi sebagai penunjang ambisi politik. Pendidikan perlu dikelola oleh ahli-ahli yang memiliki komitmen tinggi terhadap masa depan bangsa.

Kekacauan pemahaman itu melahirkan kebingungan dalam penerapannya. Terjadi serabutan profesi. Lulusan fakultas teknik, misalnya, insinyur pertanian atau apa saja, sering menggarap lahan profesi yang tidak sesuai dengan kompetensinya. Insinyur pertanian bekerja di bank, sarjana biologi bekerja menjadi manajer toko kelontong, insinyur pertanian menjadi karyawan bengkel, sarjana hukum menjadi kepala sekolah, dan magister ilmu kehutanan menjadi kepala Dinas Pendidikan.

Fenomena itu, dalam bahasa Sunda disebut pabaliut alias kalang kabut. Bukan lemah kompetensi, melainkan lemah kelola, keliru penempatan, alias mismanagement.

Simpulan sementara itulah, gambaran kondisi kependidikan kita. Kinerja kependidikan sampai saat ini masih penuh tanda tanya. Pendidikan kita masih diselubungi awan hitam, walau di ujung fatamorgana sana, warna kuning keemasan terlihat bercahaya di langit senja. Mudah-mudahan di hari esok kita akan sampai ke dalam suasana cahaya bening matahari yang terbit di pagi hari.

Itu jika paradigma didik semacam yang diajukan itu dijadikan landasan perilaku pengelola kependidikan secara kreatif dan komprehensif.(68)

--- Prof Dr Dandan Supratman MPd, Guru Besar Metodologi Pembelajaran di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unnes .

aRTIKE INI PERNAH DIMUAT PADA HARIAN sUARA mERDEKA, 15 jANUARI 2007

Tidak ada komentar: