Rabu, 14 Mei 2008

DUNIA PENDIDIKAN

PERINGATAN HARDIKNAS YANG “KEHILANGAN MAKNA”
Ditulis pada Januari 27, 2008 oleh ksemar

Oleh : Togar Lubis

Undang-Undang Dasar 1945 bertekad untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memperoleh pendidikan adalah hak setiap warga Negara. Jadi tidaklah berlebihan, jika pendidikan itu juga merupakan bagian dari Hak Azasi Manusia (HAM).
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tanggal 2 Mei setiap tahunnya diperingati oleh pemerintah khususnya Departemen Pendidikan Nasional. Peringatan Hardiknas ini juga dilaksanakan di seluruh daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota. Untuk menghilangkan image negative dari masyarakat khususnya kalangan orang tua murid yang tidak mampu, bahwa acara peringatan tersebut hanya akal-akalan dan menghabiskan anggaran, biasanya acara peringatan ini dikemas dengan label “syukuran”.




Kondisi salah satu sekolah dasar Negeri di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Memprihatinkan

Bertepatan dengan hari pendidikan tersebut, diberbagai daerah tanah air kita juga terjadi aksi demonstrasi yang dilakukan bebagai kalangan khususnya mahasiswa dan aktivis yang peduli terhadap kelangsungan pendidikan di Indonesia. Tuntutan para demonstran pada hari pendidikan tahun ini kebanyakan adalah penghapusan komersialisasi pendidikan dan menagih janji pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar segera merealisasikan yang diucapkannya pada saat kampanye Pilpres tahun 2004 yang lalu, yaitu akan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% jika terpilih menjadi presiden.


Masih pada bulan Mei 2005 ini, kita juga dibuat terkejut, sedih bercampur malu membaca berita yang dimuat berbagai media massa tentang kasus bunuh diri seorang siswa akibat orang tuanya tidak mampu membayar uang sekolah. Kita yakin, semua pihak pasti setuju bahkan sangat mengharapkan peningkatan anggaran untuk sector pendidikan segera direalisasikan. Lalu, benarkan jika pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN segala persoalan pendidikan selama ini dapat teratasi dan kasus bunuh diri siswa diatas tidak terulang lagi ?. Dan siapa yang bisa menjamin bahwa anggaran sebesar itu tidak akan lagi dicuri oleh “Gerombolan Maling” yang masih banyak dan bebas berkeliaran di negeri ini ?.

Besarnya jumlah anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan bukanlah suatu jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang murah, apalagi gratis. Bahkan jika penegakan hukum di negeri ini masih tetap seperti “sarang laba-laba” mungkin keinginan untuk memperoleh pendidikan gratis tersebut hanya akan tetap merupakan sebuah wacana atau hanya akan ada di dalam mimpi belaka.

Sebagai gambaran bahwa besarnya anggaran untuk sector pendidikan bukanlah jaminan persoalan pendidikan dapat teratasi, pada tahun 2004 lalu Pemerintah Kabupaten Langkat telah mengalokasikan dana untuk sector pendidikan yang bersumber dari Anggaran pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp. 184.511.123.000,- atau sekitar 43 % dari Total APBD Langkat yaitu Rp. 421.574.725.000,- Dari jumlah tersebut, Rp.162.608.859.000,- adalah untuk belanja aparatur daerah pada Pos TK/SDN/SLTPN/SMUN/SMKN. Bukankah anggaran tersebut cukup besar jika dilihat secara umum ?. Lalu dapatkah masyarakat Kabupaten Langkat menikmati pendidikan yang murah tapi bermutu ?. Belum tentu, sebab ternyata di daerah ini masih banyak ditemukan anak usia sekolah yang tidak bersekolah (putus sekolah) disebabkan ekonomi orangtuanya yang tidak mampu.

Biaya pendidikan di sekolah pemerintah dan sekolah yang dikelola oleh swasta di Kabupaten Langkat sama mahalnya, sebab pada kenyataannya sama-sama dikomersialisasikan. Walaupun pemerintah melalui dinas pendidikan telah mengalokasikan anggaran yang cukup besar, tapi komersialisasi pendidikan tetap berjalan seperti tidak mendapatkan hambatan. Bahkan jika kita teliti secara lebih mendalam akan ditemukan indikasi kebocoran anggaran yang sangat besar di dinas ini. Semakin besar anggaran yang dialokasikan, maka semakin besar tingkat kebocoran tersebut. Tidaklah heran jika banyak yang berasumsi bahwa di dinas ini telah terjadi “Korupsi ganda”.

Hal seperti ini dapat kita lihat pada saat dilangsungkannya Ujian Akhir Sekolah (UAS) atau Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun lalu. Tidak ada satu sekolahpun yang mengakui bahwa mereka telah mengutip uang ujian, sebab hal tersebut dilarang oleh Dinas pendidikan. Tapi para siswa mengaku membayar uang ujian dan dibebankan membayar uang perpisahan yang jumlahnya kadangkala mencapai puluhan bahkan ratusan ribu rupiah. Padahal masih berdasarkan APBD Langkat TA.2004 Dinas pendidikan daerah ini telah mengalokasikan anggaran untuk UAS sebesar Rp. 1.290.237.500,-. Jumlah tersebut adalah untuk biaya pelaksanaan UAS 46.431 siswa yang terdiri dari 6069 siswa SMU, 16.022 siswa SLTP/MTs, 3340 siswa SMK dan 21.000 siswa SD. Anggaran ini meliputi biya cetak lembar jawaban dan soal, biaya transport monitoring UAS dan biaya untuk koreksi ujian.

Dari jumlah tersebut juga diketahui bahwa biaya UAS satu orang siswa adalah Rp.37.500,- untuk siswa SMU, Rp. 30.000,- untuk SLTP/MTs, Rp. 48.500,- untuk SMK dan Rp.21.500, untuk SD. Disamping itu Dinas Pendidikan Langkat juga mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 499.880.000,- untuk pembelian buku paket IPA, IPS dan Matematika khusus untuk siswa Sekolah Dasar. Namun ternyata semua siswa SD tetap dibebani dengan biaya pembelian buku paket yang harganya mencapai Rp.100.000,-/siswa.

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia salah satunya adalah diakibatkan buruknya system manajerial dan besarnya tingkat kebocoran anggaran . Ditambah dengan banyaknya jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi menyebabkan pendidikan di negeri ini “bagai cahaya lilin yang hampir padam”. Berdasarkan data dari Direktur Tenaga Kependidikan (Ditendik) Dikdasmen Depdiknas tahun 2004, tercatat guru SD, SLTP dan SMU yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebanyak 991.243 guru atau 45,96%. Sementara yang memenuhi kualifikasi pendidikan minimal 1.165.354 orang atau 50,04% dari total 2.156.597 guru diseluruh Indonesia. Jadi tidaklah salah jika Amidhan, salah seorang anggota Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran, bahkan telah sampai pada situasi krisis.

Uraian di atas mungkin dapat menjadikan gambaran bagaimana sebenarnya kondisi pendidikan di negeri kita. Jadi, peringatan Hardiknas yang dilaksanakan oleh berbagai daerah terutama Dinas pendidikan tahun ini dan dikemas dengan label “syukuran” mungkin menjadi peringatan Hardiknas yang “Kehilangan makna” dan hanya sekedar “seremoni” belaka. Dan masih yakinkah kita bahwa alokasi anggaran sebesar 20% dari APBN dapat menyelesaikan persoalan di bidang pendidikan ?. Bagaimana menurut anda ?. Salam.

* Penulis adalah Koordinator Kelompok Studi dan Edukasi Masyarakat Marginal


(K-SEMAR) Sumatera Utara.

* Artikel ini telah diterbitkan di Surat Kabar Harian BERSAMA, Jum’at, tanggal 20 Mei 2005.

Tidak ada komentar: