Rabu, 14 Mei 2008

URGENSI REFORMASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

URGENSI REFORMASI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh : Jasman Syah)*
NIM : 049478


“Kami akan konsen memikirkan kondisi pendidikan di negara kita, agar bisa berkompetisi dengan negara–negara lain di Asia Tenggara maupun negara–negara lain di dunia. Kami juga akan mengalokasikan dana APBN sekitar 20 % untuk membangun dunia pendidikan lima tahun ke depan. Selain itu, para para pegawai yang terlibat baik langsung atau tidak dalam dunia pendidikan, akan kami perhatikan dengan serius kesejahteraanya, agar mereka lebih konsentrasi mendidik dan memberikan pelayanan kepada para pelajar yang notabene adalah penerus dan calon pemimpin masa depan bangsa”.
Itulah penggalan pidato kampanye yang dilontarkan oleh salah satu pasangan capres dan cawapres ketika kampanye pada PILPRES tahun 2004. Pernyataan atau “janji” tersebut paling tidak dapat digunakan sebagai pegangan dan catatan penting untuk menagih janji mereka. Karena rakyat Indonesia saat ini tidak hanya butuh janji, melainkan “concrete action” yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya dalam bidang pendidikan. Reformasi menyeluruh dalam bidang pendidikan hendaknya menjadi prioritas pertama dan utama pada agenda pemerintahan lima tahun mendatang. Keinginan masyarakat akan pendidikan murah, penyediaan sarana dan prasarana belajar yang memadai, tenaga pendidikan yang professional kiranya dapat segera terealisasi.
Melihat kondisi bangsa saat ini, janji-janji yang dilontarkan oleh para calon pemimpin bangsa saat kampanye, minimal bisa membawa angin segar bagi perubahan dunia pendidikan di Indonesia. Mengingat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini sangat memperihatinkan bila dilihat dari tantangan global yang dihadapi bangsa, serta bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, bahkan dengan Negara Asia dan ASEAN sekalipun. The Jakarta Post, edisi 3 September 2001 mempublikasikan hasil Survey yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Country (PERC) sebuah lembaga konsultan di Singapura. Hasil tersebut mencerminkan betapa rendahnya kualitas pendidikan kita saat ini dibandingkan dengan negara-negara lain. Hasil tersebut dapat dilihat pada table berikut:
Peringkat Kualitas Pendidikan di Asia

1 Korea Selatan 3,09
2 Singapura 3,19
3 Jepang 3,50
4 Taiwan 3,96
5 India 4,24
6 Cina 4,27
7 Malaysia 4,41
8 Hongkong 4,72
9 Pilipina 5,47
10 Thailand 5,96
11 Vietnam 6,21
12 Indonesia 6,56

Survey yang dilakukan oleh United National Development Program (UNDP) beberapa waktu yang lalu mengindikasikan betapa terpuruknya kualitas pendidikan kita. Dari 174 negara yang disurvey, Indonesia berada pada posisi yang sangat memperihantinkan dibanding beberapa negara tetangga. Indek kualitas Sumber Daya Manusia atau Human Development Index (HDI) Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan drastis. Pada tahun 1996 berada pada peringkat 102, 1999 turun menjadi peringkat 102, dan tahun 2000 HDI berada pada urutan 109, satu peringkat lebih rendah dari Vietnam yang berada pada urutan ke 108.
Peringkat SDM beberapa negara di Asia Tenggara
Nama Negara Peringkat HDI
Singapura 34
Brunai Darussalam 36
Thailand 52
Malaysia 53
Vietnam 108
Indonesia 109

Sumber : Survey yang dilakukan oleh UNDP pada tahun 2000

Tabel di atas mengindikasikan betapa rendahnya kualitas SDM kita sebagai akibat dari sistim pendidikan yang kurang optimal. Di samping itu, kurangnya perhatian pemerintah dalam dunia pendidikan menjadi suatu faktor yang tidak terbantahkan. Karenanya, sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia perlu dibenahi kembali, dengan melakukan inovasi-inovasi pendidikan dengan mengikuti perkembangan IPTEK dan tuntutan kebutuhan masyarakat secara berkala. Inovasi pendidikan tersebut diperlukan agar pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tetap up-to-date. Inovasi tersebut menyangkut beberapa aspek, antara lain berkaitan dengan kurikulum, materi pembelajaran, metode pembelajaran, sarana penunjang, termasuk peralatan pembelajaran yang memadai baik kualitas maupun kuantitas. Tentunya semua itu akan dapat terwujud bila biaya untuk dunia pendidikan memadai dan sesuai dengan kebutuhan.
Pergantian rezim pemerintahan dan pergantian kurikulum pendidikan telah yang dilakukan beberapa kali, ternyata belum bisa menaikkan “rating” bangsa Indonesia dari keterpurukannya dalam hal pendidikan. Sebagai bangsa yang besar dan telah menikmati alam kemerdekaan lebih dari setengah abad, tentu ini merupakan prestasi yang sangat memperihatinkan. Lambannya langkah pemerintah dalam menangani dunia pendidikan merupakan salah satu fakor yang harus segera diatasi. Analoginya, beberapa negara di dunia melangkah dengan kecepatan 1 kilometer per menit, bangsa Indonesia baru bisa melangkah 100 meter per menit.
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam UU SISDIKNAS nomor 20 tahun 2003, pemerintahan yang akan datang harus bekerja ekstra keras.. Tujuan pendidikan yang tidak hanya sebagai “konsep” atau “teori” belaka, tetapi dapat terwujud secara maksimal serta dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, partispasi, kerja keras dan kerjasama semua pihak dalam hal ini sangat diharapkan. Para pendidik, pelajar, masyarakat dan atau siapa saja yang peka dan mau peduli dengan masalah pendidikan, kiranya dapat secara bersama-sama memikirkan dan memberikan konstribusi bagi kemajuan dunia pendidikan. Karena untuk mencapai target tersebut, tidak bisa dicapai hanya dengan angan-angan, tetapi dibutuhkan “concrete action” semua pihak.
Menengok sejarah pendidikan beberapa tahun ke belakang, akan terlihat bagaimana kelambanan kita dalam menangani masalah ini. Beberapa tahun lalu, banyak pelajar dan mahasiswa dari luar negeri seperti Malaysia, Philipina, Singapura “hijrah” ke Indonesia untuk mendalami sains dan tehnologi. Kita boleh berbangga hati karena telah dipercaya oleh beberapa negara tetangga sebagai tempat mendalami IPTEK yang cukup berkualitas. Tentu saja mereka melakukan itu karena pendidikan di Indonesia dianggap memiliki kelebihan tersendiri yang tidak dijumpai di negara mereka. Namun sekarang, negara–negara yang dulu “berguru” ke Indonesia, kini sudah bisa menjadi guru di negeri sendiri, bahkan jauh lebih baik dibanding pendidikan di negara kita. Walhasil, banyak putra-putri bangsa Indonesia saat ini mendalami ilmu pengetahuan dan tehnologi di negara mereka.
Fenomena yang dideskripsikan di atas, paling tidak sebagai referensi, apa yang harus dilakukan ke depan? Bagaimana konsep pendidikan yang ideal agar lebih mempercepat kebangkitan pendidikan di Indonesia? Apa langkah–langkah kongkrit yang mesti diterapkan?
Untuk menjawab semua itu tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak hal yang harus dilakukan oleh pemerintahan yang akan datang. Dalam mengambil kebijakan misalnya, pemerintah harus tetap mengacu pada sistim skala prioritas agar ketimpangan–ketimpangan yang tidak perlu, dapat dihindari. Konsep-konsep pendidikan juga diharapkan dapat diimplementasikan secara optimal, agar antara konsep dan implementasi dapat saling mendukung dan sejalan, karena keduanya memiliki signifikansi yang sama. Demikian juga dengan “concrete action” pemerintah dan atau pelaksana pendidikan lainnya diharapkan bisa bersama-sama saling mendukung dengan tidak mengklaim kelompok tertentu sebagai kelompok yang paling berjasa.
Pemerataan dalam dunia pendidikan juga mutlak diperlukan untuk menghapus “image” yang berkembang bahwa pemerintah “tidak adil” dalam mengeluarkan kebijakan pendidikan. Hal ini beralasan karena antara masyarakat yang ada dikawasan Barat dan Timur ada jurang pemisah yang cukup terjal. Opini masyarakat yang terkesan pemerintah “menganaktirikan" komunitas kawasan timur Indonesia, sedapat mungkin bisa dihilangkan, agar pemerataan pendidikan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, “komersialisasi pendidikan” yang saat ini dikritik banyak kalangan, hendaknya dapat dihindari dengan menyediakan anggaran dan biaya pendidikan yang cukup. Hal ini dimaksudkan agar “setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dapat diwujudkan.
Budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang belakangan ini menjadi isu nasional, hendaknya dapat diminimalisir kalau belum bisa dihapus sama sekali. Dalam penentuan person yang yang akan menempati posisi strategis harus lebih selektif. Karena sebagai “policy maker” di tangan merekalah semua persoalan pendidikan akan dapat terselesaikan. Termasuk penerimaan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) dilingkungan Departemen Pendidikan Nasional hendaknya dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan mengedapankan prinsip abilitas, kapabilitas dan profesionalisme dari calon tersebut.
Saat ini, kurang lebih 220 juta penduduk Indonesia menggantungkan harapan besar pada pemimpin bangsa pasca pemilu yang telah dilaksanakan beberapa waktu lalu. Beban pemerintahan baru untuk 5 tahun ke depan tergolong sangat berat. Pemerintah mendatang tidak hanya dituntut untuk merealisasikan janji-janji kampanye pra PEMILU, tetapi juga harus menuntaskan berbagai persoalan bangsa yang saat ini masih belum dapat teratasi. Dukungan dan kerja keras seluruh elemen masyarakat sangat menentukan keberhasilan program pemerintah 5 tahun ke depan. Salah satu agenda besarnya adalah mengatasi krisis multi dimensi yang saat ini masih menyelimuti negeri ini. Yang pasti “reformasi menyeluruh” harus dilakukan pada semua aspek kehidupan berbangsa bernegara, termasuk yang paling urgen adalah reformasi dalam bidang pendidikan. Reformasi dalam makna yang positif dan konstruktif, dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip kenegaraan yang ada, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Semoga dapat terealisasi dengan optimal, amin.




)* Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarja (PPs) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Program studi Pendidikan Bahasa Inggris

Tidak ada komentar: