Rabu, 14 Mei 2008

MENGGUGAT SISTIM PEMBELAJARAN BAHASA DI INDONESIA

BOOK REVIEW "Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia
Dalam Konteks Persaingan Global
Penulis :
Prof. DR. A. Chaedar Alwasilah, MA

Reviewer : Jasmansyah


Mencermati sejumlah persoalan yang dihadapi bangsa saat ini, kita patut bersedih dan berduka. Wajah bopeng negeri ini yang telah di diagnose sejak setengah abad silam belum memperlihatkan tanda-tanda akan segera membaik. Sejak gendrang kemerdekaan setengah abad silam, negeri yang berpenduduk lebih dari 200 juta ini terus menerus ditimpa masalah yang tak kunjung usai. Berbagai permasalahan bangsa datang silih berganti. Bak gayung bersambut, satu persoalan berhasil diselesaikan, muncul persoalan baru yang lebih komplek dan mewabah ke berbagai sisi kehidupan. Lebih-lebih di era keterbukaan seperti saat ini, sebilangan “borok” mulai mengemuka seiring dengan kebijakan pemerintahan baru yang menginginkan perubahan dan perbaikan di segala bidang. Masalah-masalah krusial dalam bidang politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan, pertahanan keamanan adalah agenda besar yang harus diatasi pemerintahan saat ini. Sebagai warga negara kita malu mendengar berbagai lebel negatif yang yang dihadiahi oleh beberapa negara di dunia. Sejumlah sebutan dialamatkan kepada kita, seperti negeri sarang teroris, terkorup, SDM yang sangat lemah, ekonomi amburadul dll.
Dalam buku setebal xix + 207 halaman yang ditulis oleh Prof. DR. A. Chaedar Alwasilah, M.A, penulis mengangkat salah satu isu krusial bangsa, yakni tentang pendidikan. Buku yang diberi judul “Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global”, penulis mengungkap berbagai berbagai persoalan pendidikan dari berbagai sudut pandang. Agar masalah tidak melebar, penulis membatasi pada salah satu bagian terkecil dari masalah pendidikan yakni tentang pendidikan bahasa, yang disertai sejumlah solusi konstruktif. Kritikan terhadap berbagai kebijakan “policy” yang diterapkan pemerintah dalam pembelajaran bahasa, menghiasi lembar demi lembar buku tersebut. Untuk memperkuat pernyataannya, penulis menyertakan beberapa hasil survey dan research yang dilakukan penulis sendiri maupun dari beberapa ahli yang punya kepedulian dalam kajian yang sama. DR. Bachrudin Musthafa, MA. salah seorang murid sekaligus tenaga pengajar pada UPI Bandung ikut memberikan pengantar di dalamnya. Dengan bahasanya yang khas, dia (Bachrudin Musthafa) menggambarkan buku tersebut sebagai sebuah rontaan intelektual yang sangat akademis.
Sumpah pemuda yang didengungkan oleh para pemuda dan pejuang bangsa tanggal 28 Oktober 1928, menjadi acuan yang mendasar ketika berbicara tentang bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa di dunia, telah dijadikan sebagai bahasa resmi negara dan juga sebagai bahasa nasional. Sebagai bahasa resmi negara, dan bahasa nasional, hendaknya hal ini dapat dikembangkan dan difungsikan sebagai alat untuk membangun bangsa dalam semua aspek kehidupan. Kegagalan kita dalam kontek ini adalah penyalahgunaan bahasa dalam kehidupan. Bahasa bukannya sebagai alat membangun bangsa, sebaliknya dimanfaatkan untuk menutupi aib sendiri dan juga sebagai komoditas politik.
Hal ini sangat jauh berbeda jika dikomparasikan dengan beberapa negara lain dunia. Mereka menfungsikan bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi dan interaksi sosial, tapi juga sebagai alat untuk maju dan berkembang seiring dengan perkembangan dunia yang semakin kompetitif. Bahasa digunakan bahasa sebagai alat untuk menguasai berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Walhasil, mereka dapat berkembang dan maju dengan cepat. Berbagai temuan-temuan “invention” baru dipublikasikan dan dikoodifikasi dalam bentuk buku, jurnal, karya ilmiah dll. Budaya tulis bagi mereka adalah suatu kewajiban yang harus dikuasai. Tak mengherankan apabila ratusan bahkan puluh ribu buku baru berhasil diterbitkan setiap tahunnya.
Sekjen PWI, Parni Hadi, beberapa waktu lalu melaporkan bahwa di negara-negar berkembang, setiap satu juta penduduk terbit 55 buah buku per tahun. Sedangkan di negara maju mencapai 515 judul buku per satu juta penduduk setiap tahun. Sedangkan di Indonesia baru bisa menerbitkan sekitar 12 judul buku per satu juta penduduk setiap tahun. Data tersebut menyiratkan kepedihan yang mendalam, betapa rendahnya kualitas SDM di negara kita. Menyikapi fenomena di atas, penulis membahas dalam bab tersendiri ihwal pentingnya menulis dalam upaya meningkatkan SDM menghadapi era globalisasi. Selain itu, di beberapa bagian lain dari buku tersebut dikampanyekan arti pentingnya budaya tulis.
Setiap tahun ribuan sarjana S1 sampai S3 dari berbagai disiplin ilmu diwisuda. Dari angka tersebut, jumlah sarjana yang mengimplementasikan ilmunya dalam bentuk karya tulis masih bisa dihitung dengan jari. Para mahasiswa dipaksakan untuk bisa menulis, karena harus menyelesaikan Tugas Akhir, Thesis, Disertasi dan sejenisnya yang membutuhkan skill tersebut. Kegagalan para mahasiswa dalam menulis dan berkarya tulis, tak bisa lepas dari peranana guru/dosen. Peran guru, dosen dalam hal ini memilki andil yang cukup besar dalam menghitam-putihkan mahasiswanya. Berbagai penelitian dan survey memperlihatkan bahwa sebagian besar mereka lebih suka mengajar teori daripada praktik menulis. Pengajaran struktur bahasa, teori-teori bahasa dan sejenisnya adalah materi-materi yang lebih dominan diajarkan pada para mahasiswa. Disamping itu, kemampuan para guru/dosen dalam mengajarkan writing menjadi isu sentral yang tak terbantahkan, mengapa para guru/dosen malas mengajarkan writing.
Pengajaran bahasa Inggris mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia. Bertahun-tahun para siswa belajar bahasa Inggris, mulai dari bangku SD sampai SMA bahkan Perguruan Tinggi. Namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Diakui atau tidak, bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional, bahasa ilmu pengetahuan dan tehnologi, hendaknya dapat dikuasai secara baik, secara lisan maupun tulisan. Karena sebagian besar buku teks yang beredar saat ini ditulis dalam bahasa Inggris. Konskwensinya, mau tidak mau kita harus menguasai bahasa tersebut.
Kurangnya penguasaan dosen/mahasiswa dalam bahasa Inggris, ditengarai menjadi salah satu penyebab lemahnya budaya tulis. Pada sisi yang sama berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi datang dari Barat. Para ilmuan Barat menulisnya dalam bahasa Inggris. Jadi, untuk bisa mengadopsi ilmu mereka harus bisa dan paham bahasa mereka. Sebagai analogi, Jika kita menulis paper, skripsi atau sejenisnya, berapa persen dari literatur yang dirujuk menggunakan bahasa Indonesia? Kurangnya referensi/ literatur keilmuan dalam bahasa Indonesia disebabkan oleh kurangnnya kemampuan dosen/ahli ilmu lainnya berkarya tulis. Jika diamati lebih jauh, kita memiliki ratusan bahkan ribuan ilmuwan dengan latar belakang ilmu pengetahuan yang berbeda. Kalau saja mereka menuangkan kemampuan inlektualnya dalam bentuk karya tulis (buku teks, artikel, jurnal dll), tentu kita akan memiliki banyak sekali literatur yang berkualitas dan bernilai jual tinggi.
Banyak langkah urgen yang harus dilakukan agar bisa berkompetisi dalam era global. Hal-hal mendasar dan krusial hendaknya menjadi prioritas untuk dalam rangka memperbaharui sistem yang telah ada. Tersedianya perangkat pembelajaran yang memadai, kurikulum pendidikan yang teruji, SDM yang berkualitas, dana yang cukup adalah sebilangan hal-hal krusial yang harus segera diatasi. Semua itu membutuhkan kesabaran dan waktu yang cukup lama.
Berbagai persoalan ihwal pengajaran bahasa di Indonesia tidak hanya menimpa sekolah menengah (SMP/SMA), tetapi juga sudah mewabah sampai Perguruan Tinggi (PT). Kebijakan pemerintah memberlakukan MKDU bahasa Indonesia atau bahasa Inggris di PT, pada tataran implementasi sudah out of control. Pengajaran MKDU bahasa Indonesia merupakan pengulangan materi SMA/SMU, atau lebih ditekan pada struktur kalimat, teori menulis dll. Dampaknya, dosen mengajar “semau gue”, dan mahasiswa belajar untuk lulus ujian dan memperoleh nilai yang diinginkan. Pengajaran bahasa Inggris juga bernasib sama. Penguasaan berkomunikasi, menulis, mendengar dan sejenisnya yang semula menjadi pijakan, telah berubah menjadi menjadi pengajaran tata bahasa/grammar. Tak mengherankan, kalau penulis menginginkan agar MKDU bahasa Indonesia dan bahasa Inggris di PT dirombak bahkan dibuang saja, karena tidak sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
Mencermati uraian di atas, sebagai anak bangsa hendaknya menyadari arti pentingnya belajar dan membelajarkan bahasa. Sudah saatnya lengan baju disingsingkan untuk membenahi dan meminimalisir berbagai persoalan pendidikan –khususnya pengajaran bahasa- yang sedang dialami bangsa. Marilah kita kembali ke posisi masing-masing. Berbuat, berjuang dan terus berjuang agar mimpi kita saat ini suatu saat menjadi kenyataan. Tidak ada kata terlambat kalau kita mau berubah. Mengutip ungkapan Aa Gym: Mulailah dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulailah sekarang juga.
Buku ini boleh dianggap sebagai buku yang sangat berani menyuarakan kebenaran. Sebilangan masalah krusial dalam pengajaran bahasa di Indonesia dikupas tuntas. Berbagai kritik konstruktif terhadap kebijakan pemerintah ikut membumbui setiap bahasannya. Buku ini terdiri dari 6 bab, dimana pada masing-masing bab terdapat sejumlah anak tema. Untuk menghilangkan kesalahpahaman pembaca pada beberapa istilah, pada akhir setiap bab dilengkapi catatan akhir yang memuat penjelasan tentang suatu istilah.
Terbitnya buku ini diiringi sejumlah harapan, kiranya pendidikan bahasa di Indonesia bisa lebih baik dari waktu ke waktu. Khususnya bagi pemerhati dan pihak-pihak yang terlibat dan penentu kebijakan policy maker mudah-mudahan ini dapat digunakan sebagai acuan untuk membuat suatu kebijakan pendidikan yang lebih bijaksana. Para penggiat bahasa, hendaknya bisa menarik sejumlah kesimpulan atau intisari dari buku sederhana ini, dalam rangka meningkatkan SDM dalam bidang bahasa. Semoga pengajaran bahasa bisa semakin baik pada masa-masa mendatang. Amin.

Reviewer adalah Mahasiswa S2 Prog. Bahasa Inggris UPI Bandung

Tidak ada komentar: