Selasa, 20 Mei 2008

SASTRA MENGGUGAT TUAN GURU DI LOMBOK

SASTRA MENGGUGAT TUAN GURU DI LOMBOK


MATARAM - Seorang seniman teater dari Lombok Salman Faris meluncurkan karya sastranya, novel berjudul Tuan Guru. Jum’at (1/6) malam lalu, oleh Institut Studi Krisis dan Perdamaian (InSkrip) bekerja sama dengan Institut Rumah Arus (Irus) dilakukan diskusi dan bedah buku. Temanya Sastra Menggugat Tuan Guru. Padahal Tuan Guru, dua kata ini di Lombok adalah berarti kiyai. Seorang pemuka agama yang dihormati dan menjadi panutan masyarakat. Tetapi kesehariannya dinilai oleh Salman, banyak memperoleh keuntungan dari ketokohannya.

Novel Tuan Guru ini yang oleh sebagian pengunjung malam itu dinilai kontroversial, dibahas oleh Tuan Guru Haji Hamzah dari Pondok Pesantren Kiblatul Mustakim Jenggik Lombok Tengah dan seorang dosen Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Mataram Abudu Wahid. Juga pemerhati budaya Lalu Suprapta - yang berpangkat Komisaris Besar Pol sehari-hari Wakil Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Wakapolda NTB).

Naskah yang ditulis Salman Faris tahun 2006 lalu ini, disertai komentar dari kritikus seni-pemikir kebudayaan Nirwan Ahmad Arsuka, sastrawan pelaku teater dan dosen sosiologi Universitas Indonesia Radhar Panca Dahana, serta penyair-esais-kritikus seni Wicaksono Adi, dicetak Mei 2007, diterbitkan oleh Genta Press bersama Nusantara Cinema. Tebalnya 641 halaman yang terdiri dari 40 bagian.

Salman Faris sendiri mengatakan pandangannya melihat kembali pondok pesantren dari luar. ”Saya menulis Tuan Guru ini setelah 13 tahun di dunia teater. Ada persoalan substansial yang selalu ditutupi,” katanya sewaktu berbicara awal pada malam itu. Menurutnya, ada madrasah yang kondisinya lebih buruk walaupun tetap memperoleh dana bantuan hasil dari mengedarkan brosur yang tetap dijalankan di lingkungan masyarakat. ”Lalu kemana dananya. Saya sampai menangis sendiri,” ucapnya.

Kemudian, ia menunjuk ibunya sendiri seorang pedagang bakulan yang dibandingkannya dengan wanita di Jawa. Walaupun sama-sama buta huruf dan bodoh, namun wanita Jawa memiliki perubahan visi hidupnya. Tidak bergantung kepada kiainya. ”Kualitas kemanusiaannya lebih visioner,” ujarnya.

Lantas, yang disedihkan adalah seorang kawannya di pesanteren yang ditemukan bekerja di pom bensin (SPBU). Kenapa dulu tidak sekolah STM saja kalau kemudian hanya bekerja di SPBU. ”Saya tidak menentang atau menolak tuang guru. Tapi menyayangkan,” katanya. Karena itu ia menyontohkan kehidupan pemuka agama di Pakistan yang mengutamakan mengajarkan aqidah, walaupun mereka sendiri harus bekerja kasar. Sebaliknya, tuan guru di Lombok ada yang sedari dulu hanya menerima amplopan kehadirannya tetap sebesar Rp25 ribu. Menurutnya, seharusnya ada yang berubah. ”Ini semangat yang ada dari novel ini. Saya yang berani katakan pondok pesantren salah,” ucapnya.

Sebelumnya, mari kita perkenalkan diri Salman Alfarisi - demikian biasa dipanggil teman-teman senimannya. Pria, kelahiran Rensing Lombok Timur, 1974, yang kini sedang mengikuti program Strata 2 Antropologi pernah selama 13 tahun menjalani pendidikan Mahad di Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Pancor di Lombok Timur. Ia adalah tamatan Akademi Seni Drama Indonesia (Asdrafi) Yogyakarta 2000 dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta jurusan teater 2004 adalah pendiri Dapur Teater Lombok yang karyannya bernuansa kearifan lokal. Salman Alfarisi yang juga sempat dua tahun (1997-1999) di Malaysia untuk memahami kehidupan TKI.

Karyanya sendiri yang telah dipentaskan di Mataram, pertama adalah Rimba Jiwa Sunyi : Matinya Tradisi Di Atas Pertarungan Dua Kelamin (7/10-2004). Kedua, Perempuan-perempuanku Apa Maumu (25/11-2004). Ketiga, Perempuan dan Dedaunan Sama-Sama Tak Ingin Terbakar (29/11-2004). Keempat, Aku Hanya Menggoda (31/12-2004). Kelima, Airku, Airmu Air Bencana (12/1-2005). Setahun lalu, (27/2-2006), ia menampilkan Sekam - yang menggugat kebangsawanan pria di Lombok.

Adalah Paox Ibenz, direktur Irus, yang mengemukakan bahwa tidak pernah dibayangkan kalau para Tuan Guru yang pada 10an tahun lalu hanya dikenal sebagai pendulang suara pada pemilu kini ikut memasuki rana politik. ”Kini telah berubah. Karena itu Irus sebagai lembaga kajian dan transformasi tertarik terhadap bedah novel realis sosial ini,” ujarnya sewaktu berbicara sebagai pengantar acara.

Lalu Suprapta yang Wakapolda NTB tadi, memang senang dengan adanya karya Tuan Guru tersebut. Selama ini, sewaktu 24 tahun merantau, berada di luar Lombok, menunggu-nunggu karya sastra tertulis dari daerah Sasak ini. Padahal banyak karya sastra yang diilhami dari isi lontar yang didapat dari Lombok. ”Banyak karya sastra lisan. Kenapa tidak ditulis. Kenapa Lombok tidak maju,” katanya.

Tetapi mengemukakan pendapatnya, Suprapta mengatakan karya sastra dalam bentuk novel ini membuatnya terperangah. Isinya dinilai kontroversial. ”Saya kawatir terhadap buku ini,” ucapnya menilai. Disebutnya bahwa memang ada tiga kelompok Tuan Guru. Pertama, berperan memberikan kontribusi keberadaan pesantren. Kedua, pesantren dan tuan guru yang berguna dan berperan terhadap kehidupan masyarakat. Ketiga, bahwa tuan guru dianggap sebagai cahaya, penuntun yang fantastik. ”Kalau saya memilih yang kedua. Kemana masyarakat dibawa kalau tidak ada tuan guru,” ujarnya.

Karena itu, setelah membaca sebagian - karena belum selesai seluruhnya membaca novel Tuan Guru ini, mengajak Salman agar lain kali tidak menulis yang kontroversial. ”Jangan sampai ada orang yang tersinggung,” katanya.

Pemimpin Pondok Pesantren Kiblatul Mustakim Tuan Guru Haji Hamzah yang juga sarjana hukum dan mengajar pula di Universitas Nahdlatul Wathan, mengakui bahwa tuan guru memang masih dominan di masyarakat. Dibutuhkan sewaktu pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah, pelaksanaan Keluarga Berencana. ”Ulama itu ibarat bintang di langit. Bagaikan lampu dan pewaris nabi,” ucapnya.

Tiga kelompok tuan guru yang disebutnya adalah pertama yang menyandarkan hidupnya pada kehidupan. Kedua, bersifat bunglon. Samina Watona atau menerima dan bergantung kepada status quo. ”Leto lete ini itu iya,” ujarnya. Artinya kesana kemari dilakukan. Sedangkan yang ketiga, tidak menggantungkan dirinya hanya kepada Allah SWT yang disebutnya kemudian tuan guru yang bagaikan pedang yang bisa digunakan untuk apa saja.

Isi novel itu sendiri, dikritiknya ada bagian yang sensitif. ”Memang ada yang sensitifnya, istri tuan guru digituin ini yang sensitif,” katanya. Namun ia juga mengakui di sisi lain bahwa kehadiran masjid hanya ramai dari proposal pembangunannya. Tapi tidak ada yang memenuhi isinya.

Dosen Fakultas Dakwah IAIN Mataram Abudu Wahid menyebut novelnya Salman Faris ini memang dahsat. Novel ini utamanya adalah kritik sosial. Dikatakannya bahwa bukan tuan gurunya yang terpenting dari buku ini. Tapi adanya pengungkapan terjadinya kekerdilan dan penindasan. Itu sebabnya dikatakan bahwa kehadiran karya Salman ini sebaga peran sastra adalah nyata merupakan bagian yang penting dari sejarah. Tanpa keterlibatan sastra dalam sejarah menimbulkan banyak misteri. ”Penulis buku ini berontak. Tapi mencari jalan keluar menuju masyarakat demokratis agar tidak terjadi penindasan,” ucapnya.(supriyantho khafid)

Sumber : http://lomboknews.wordpress.com/2007/06/03/sastra-menggugat-tuan-guru-di-lombok/

Tidak ada komentar: