Kamis, 29 Mei 2008

GAMBAR ORTUKU




BP. DRS. H. MUSLIKH SUGANDI
IBU Hj. LILIS SUMIATI, S.Ag

FOTO WISUDA 2002



FOTO : WISUDA JASMANSYAH

FOTO FAIZ




Foto : FAIZ M. TSAQIF ALTHAF
LAHIR : SUKABUMI, 22 APRIL 2007

FOTO FITRI

FOTO-KOE





Foto : Jasmansyah

NILAI UAS CBI KOMP. AKUNTANSI

CITRA BUANA INDONESIA
(AMIK-CBI) SUKABUMI
Alamat : Jalan KH. A. Sanusi kota Sukabumi

DAFTAR NILAI
TAHUN AKADEMIK 2007/2008

MATA KULIAH : MANAJEMEN BISNIS
JUR/PRODI : KOMPUTER AKUNTANSI


NO
NAMA NILAI KETR
TUGAS UTS UAS JML RATA2
01 Dede S. 90 72 84 246 82.00 A
a Sri Ratna N. 90 70 78 238 79.33 B
03 Fitharati M. 90 65 72 227 75.67 B
04 Nita Juniarni 90 73 85 248 82.67 A
05 Nia Juniarti 90 77 82 249 83.00 A
06 Wima D. 90 90 90 270 90.00 A

Catatan :
Rentang nilai :
1. 81 – 100 : A
2. 75 – 80 : B
3. 61 – 74 : C
4. 45 – 60 : D
5. 0 – 44 : E
Smi, 26 Mei 2008
Dosen MK


JASMANSYAH

NILAI UAS CBI 2008

AKADEMI MANAJEMEN DAN INFORMATIKA KOMPUTER
CITRA BUANA INDONESIA
(AMIK-CBI) SUKABUMI
Alamat : Jalan KH. A. Sanusi kota Sukabumi

DAFTAR NILAI
TAHUN AKADEMIK 2007/2008

MATA KULIAH : MANAJEMEN BISNIS
JUR/PRODI : MANAJEMEN INFORMATIKA


NO

NAMA TUGAS UTS UAS JML RATA2 N. AKHIR
01 Denden Eriana 90 60 70 220 73.33 B
02 Ella Nurlela 90 75 83 248 82.67 A
03 Rizki 90 71 77 238 79 B
04 Alwi Maulana 90 77 83 250 83.33 A
05 Ayu Intan Sari 90 72 75 237 79.00 B
06 Andri Nugraha 90 77 81 248 82.67 A
07 Wildan Ayubi 90 77 78 245 81.67 A
08 Dian Arief R. 90 72 78 240 80.00 B
09 M. Ilham Noval 90 70 82 242 80.67 A
10 Agus Sutiawan 90 80 83 253 84.33 A
11 Aris Pribadi 90 65 80 235 78.33 B
12 Ende B. 90 75 73 238 79.33 B
13 Indira R. 90 74 72 236 78.67 B
14 Ridwan 90 73 70 233 77.67 B


Catatan :
Rentang nilai :
1. 81 – 100 : A
2. 75 – 80 : B
3. 61 – 74 : C
4. 45 – 60 : D
5. 0 – 44 : E
Smi, 26 Mei 2008
Dosen MK


JASMANSYAH

Rabu, 21 Mei 2008

Awan Hitam dalam Pendidikan

Awan Hitam dalam Pendidikan
Oleh Dandan Supratman

DUNIA pendidikan kita dari waktu ke waktu bukannya menampakkan wajah yang makin cemerlang, melainkan justru menampilkan roman muka yang kian terselubungi awan hitam. Masalah satu belum terselesaikan, hilir mudiklah persoalan lain yang menambah kecarutmarutan.

Karena itu, saya bermaksud menyampaikan ihwal pikiran dasar pembelajaran "mengajar dan mendidik". Sebab, jika pengelola kependidikan tidak mengenal paradigma didik, mengabaikan prinsip, mengucilkan teori, kurang belajar, miskin pengetahuan, maka yang dihasilkan adalah sumber daya manusia (SDM) yang bermasalah.

Kinerja profesional apa pun perlu dilandasi ilmunya. Setiap ilmuwan perlu menguasai konsep dasar keilmuannya sebagai ancangan untuk memahami, mengembangkan, dan memanfaatkan keilmuannya itu dalam konteks aplikasi yang operasional. Jika tidak, ia akan memahami dan memperlakukan keilmuannya itu serbasusah dan serbakeliru.

Kita tentu boleh saja jengkel melihat aneka kejanggalan yang dilakukan para pengelola kependidikan, guru, kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, dan sebagainya. Namun di balik itu, kita sesungguhnya sedang menangkap tanda bahwa mereka tidak menguasai paradigma keilmuan secara komprehensif dan benar. Produknya memang terbukti.

Manusia yang dihasilkan adalah manusia robot dan kasar, tak berhati nurani. Kekaguman kepada orang-orang yang berbudi, tersisih oleh kekaguman pada prestasi intelektualitas.

Padahal, yang kini dibutuhkan adalah manusia yang memiliki kecerdasan komprehensif dan kompetitif (Diknas, 2006). Lagi pula, persoalan pokok yang kita hadapi pada masa depan adalah persoalan mentalitas SDM yang berkinerja lemah, rendah kreativitas, tak punya malu, daya juang hilang, motivasi berprestasi tipis, lupa toleransi, malas kerja sama, abai pada kesantunan, anutan ala primitif, bergaya hidup konsumtif, hingga akhirnya Pancasila yang semesinya jadi kendali kini tinggal nama.

Maklumlah jika para orang tua mengelus dada atas gejala dekadensi moral itu. Pendidikan dianggap pelengkap, pengisi waktu luang; padahal pendidikan adalah jiwa penangkal malapetaka.

Membenahi mentalitas dan tata nilai seperti itu tidak mudah. Tidak dapat dilakukan dengan model pendidikan berdasarkan paradigma dan pendekatan, strategi, dan model-model pembelajaran tradisional, lalu diukur oleh hanya pendekatan evaluasi paper and pencil tests. Penilaian baru tuntas apabila dilengkapi dengan pendekatan asesmen alternatif.

Pendidikan memang menerapkan paradigma didik: jelas filosofisnya, prinsip-prinsipnya, kaya dengan teori-teorinya, metode dan tekniknya. Paradigma didik menjadi landasan perilaku kependidikan untuk mencapai kompetensi kecerdasan komprehensif dan kompetitif (Renstra Depdikbud).

Namun jika direnungkan, ternyata reformasi, desentralisasi, otonomi, dewan pendidikan dan komite sekolah, manajemen berbasis sekolah (MBS), kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan penilaian berbasis kelas (PBK) adalah pikiran dasar filosofis kependidikan. Adapun yang hendak saya ajukan berada pada tataran mikro kependidikan.

Kita boleh saja jengkel melihat aneka kejanggalan yang dilakukan para pengelola kependidikan, guru, kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, dan sebagainya. Namun di balik itu, kita sesungguhnya sedang menangkap tanda bahwa mereka tidak menguasai paradigma keilmuan secara komprehensif dan benar.

Ke Portofolio

Cobalah sekarang berpaling kepada strategi portofolio. Pembelajaran dengan strategi portofolio menghasilkan portofolio. Apabila evaluasi portofolio diterapkan, seharusnya pembelajarannya menghasilkan portofolio. Penilaian portofolio merupakan penilaian atas bukti proses dan hasil belajar. Proses pembelajaran dan penyusunan portofolio sesuai dengan program pembelajaran yang telah dirancang. Strategi portofolio dengan penilaiannya itu dapat merekam proses pembelajaran dan pendidikan, merekam capaian prestasi dan tata nilai secara komprehensif. Rancangan pembelajaran menjadi pedoman utama dalam penyusunan portofolio oleh peserta didik.

Desentralisasi, otonomi, konstruktifisme, dewan pendidikan, komite sekolah, manajemen berbasis sekolah, kurikulum berbasis kompetensi, dan kurikukum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah pikiran dasar kependidikan yang dimaksud, sedangkan strategi portofolio merupakan implikasi operasional model pembelajaran berdasarkan paradigma tersebut.

Itulah, pada hemat saya yang dimaksud dengan paradigma didik mutakhir yang menjanjikan itu.

Depdiknas sekarang berhasrat mewujudkan pendidikan yang mampu membangun insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif (insan kamil/insan paripurna), yaitu manusia yang memiliki berbagai kompetensi: cerdas spiritual, cerdas emosional sosial, cerdas intelektual, cerdas kinestetik, dan disempurnakan dengan cerdas ilahiah (iman, takwa, dan ibadah).

Pandangan konstruktifisme percaya bahwa keberhasilan, kesuksesan, atau prestasi, termasuk kesejahteraan seseorang, sangat bergantung kepada upaya orang itu sendiri. Karena itulah, dalam gelora reformasi, langkah demokratisasi, desentralisasi, dan otonomi daerah, gencar diperjuangkan, meski sampai sekarang masih belum tergapai-gapai.

Strategi portofolio yang saya jadikan contoh hanyalah contoh model pembelajaran dan pendidikan yang dilandasi pikiran-pikiran dasar tersebut. Diharapkan guru/dosen terus mengembangkan berbagai strategi dan model-model pembelajaran yang mempunyai landasan paradigmatik tertentu.

Pendekatan behavioristik yang selama ini dianut memang tidak keliru. Namun ternyata telah mengundang berbagai kesulitan, karena berbagai kemudahan yang memanjakannya. Pemerintah telah berusaha mengondisikan suasana belajar, menyediakan berbagai fasilitas dan sarana pembelajaran, dalam rangka melayani kebutuhan pendidikan. Namun nyatanya masih serbakurang dan serbatanggung. Misalnya sarana pendidikan olahraga, perpustakaan, buku paket, dan perbaikan gedung sekolah selalu bermasalah.

Pemerintah menjadi satu-satunya penanggung jawab penyedia fasilitas pendidikan. Behavioristik telah membuat guru berusaha meningkatkan pelayanan kepada peserta didik, bahkan guru selalu dijadikan kambing hitam atas kegagalan pendidikan yang dianggap pelayanannya kurang memuaskan.

Guru menjadi satu-satunya sumber belajar. Murid hanya menunggu guru berkiprah, dan guru menjadi satu-satunya contoh yang perlu ditiru. Bagi pendidikan dasar dan menengah, itu memang lebih cocok. Namun bagi tingkat akademi, perlu diperhatikan pendekatan dan pola pikir lain.

Di sisi lain, tingginya tingkat pengangguran dan ramainya PHK adalah wajar saja, karena mutu SDM itu tidak memenuhi syarat. Sekolah belum mampu menjamin kehidupan dan pekerjaan. Cukup ironis, jika alumnus perguruan tinggi penganggur intelektual mengharapkan pemerintah menyediakan lapangan kerja. Sampai-sampai mengirimkan surat pembaca di koran, meminta-minta pekerjaan. Padahal, pemerintah tidak berkewajiban menyediakan lapangan kerja.

Pada hemat penulis, kuno jika pemerintah diwajibkan menyediakan lapangan pekerjaan bagi setiap lulusan suatu lembaga pendidikan. Pemerintah bukan wajib menyediakan lapangan kerja. Juga ketinggalan zaman, jika sekolah hanya mengejar target kuantitas lulusan. Lucu jika sekolah merasa bangga bila dapat meluluskan banyak siswa, sementara soal mutu menjadi nomor kesekian.

Lemah Kelola

Semua permasalahan dalam kependidikan itu, awalnya karena pengelolaan pendidikan tidak diserahkan kepada ahlinya dengan tepat, baik pada tingkat manajerial maupun pelaksana.

The right man on the right place sudah dilupakan. Pendidikan sudah terlalu kuat ditunggangi ambisi politik, ambisi materialistik, dan ambisi kepentingan kelompok. Kini seyogianyalah, komando pendidikan tidak lagi terletak di tangan birokratik dan berfungsi sebagai penunjang ambisi politik. Pendidikan perlu dikelola oleh ahli-ahli yang memiliki komitmen tinggi terhadap masa depan bangsa.

Kekacauan pemahaman itu melahirkan kebingungan dalam penerapannya. Terjadi serabutan profesi. Lulusan fakultas teknik, misalnya, insinyur pertanian atau apa saja, sering menggarap lahan profesi yang tidak sesuai dengan kompetensinya. Insinyur pertanian bekerja di bank, sarjana biologi bekerja menjadi manajer toko kelontong, insinyur pertanian menjadi karyawan bengkel, sarjana hukum menjadi kepala sekolah, dan magister ilmu kehutanan menjadi kepala Dinas Pendidikan.

Fenomena itu, dalam bahasa Sunda disebut pabaliut alias kalang kabut. Bukan lemah kompetensi, melainkan lemah kelola, keliru penempatan, alias mismanagement.

Simpulan sementara itulah, gambaran kondisi kependidikan kita. Kinerja kependidikan sampai saat ini masih penuh tanda tanya. Pendidikan kita masih diselubungi awan hitam, walau di ujung fatamorgana sana, warna kuning keemasan terlihat bercahaya di langit senja. Mudah-mudahan di hari esok kita akan sampai ke dalam suasana cahaya bening matahari yang terbit di pagi hari.

Itu jika paradigma didik semacam yang diajukan itu dijadikan landasan perilaku pengelola kependidikan secara kreatif dan komprehensif.(68)

--- Prof Dr Dandan Supratman MPd, Guru Besar Metodologi Pembelajaran di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unnes .

aRTIKE INI PERNAH DIMUAT PADA HARIAN sUARA mERDEKA, 15 jANUARI 2007

INFO LOMBA KEBERHASILAN GURU 2008

DIREKTORAT PROFESI PENDIDIK
DIREKTORAT JENDERAL
PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
DIREKTORAT PROFESI PENDIDIK
LOMBA KEBERHASILAN GURU DALAM PEMBELAJARAN
TINGKAT NASIONAL TAHUN 2008


Departemen Pendidikan Nasional berusaha secara kontinyu meningkatkan kemampuan profesional guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Salah satu kegiatannya adalah menyelenggarakan “Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran Tingkat Nasional.” Keberhasilan guru dalam pembelajaran tercermin dari hasil penelitian, penelitian tindakan kelas (PTK), kajian, atau evaluasi khususnya di bidang penyusunan program, penyajian program, penilaian proses, dan hasil pembelajaran.
TEMA
“Melalui lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran kita tingkatkan profesionalitas guru sebagai agen pembelajaran yang kreatif dan inovatif untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu”.

TUJUAN
Memotivasi guru untuk lebih berkreasi dan berinovasi dalam menyusun, menyajikan, serta menilai proses dan hasil pembelajaran.
Mendorong guru untuk selalu meningkatkan kemampuan meneliti, mengkaji, mengevaluasi, mengembangkan kreatifitas, dan inovasi untuk menghasilkan pembelajaran yang bermutu.
Menanamkan budaya, minat, bakat dan kebiasaan untuk pengembangan hasil kegiatan pengembangan profesi baik lisan maupun tulisan secara baik dan benar.
Menyebarluaskan berbagai pengalaman guru yang berhasil meningkatkan mutu pembelajaran, sehingga dapat dimanfaatkan dan dijadikan referensi bagi guru lainnya.
LINGKUP LOMBA
Lingkup kegiatan yang dilombakan dalam Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran Tingkat Nasional Tahun 2008, adalah
Kegiatan penyusunan program, penyajian program dan penilaian hasil pembelajaran atau bimbingan yang berdampak kepada meningkatnya prestasi belajar peserta didik.
Peningkatan proses dan hasil belajar peserta didik yang tercermin pada meningkatnya efektivitas dan efisiensi proses belajar peserta didik dengan indikator meningkatnya minat dan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran yang dipelajarinya sesuai dengan tujuan pembelajaran atau bimbingan yang telah ditetapkan. Hasil belajar tersebut dapat diukur melalui skor perolehan belajar, skor sikap, dan berbagai skor pengukuran lain yang tingkat kepercayaannya telah diuji.
Berupa hasil penelitian, penelitian tindakan kelas, kajian, atau evaluasi dengan pendekatan, dengan menggunakan pendekatan kuantitatif atau kualitatif.
KERANGKA ISI
Abstrak : ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris antara 200 – 300 kata.
Bagian awal
Halaman judul
Judul singkat, jelas, relevan dengan isi tulisan, dan diketik dengan huruf kapital.
Nama penulis.
Kedudukan guru yang menyatakan keberadaannya pada satuan pendidikan TK/SD/SMP/SMA/ SMK/SLB dan mata pelajaran atau bimbingan dan konseling yang menjadi bidang tugasnya.
Tanggal penulisan.
Halaman pengesahan/persetujuan kepala sekolah
Lembaran tersebut menyatakan pengesahan atau persetujuan kepala sekolah dengan bukti tanda tangan, nama, NIP/NIGB/NIY (kalau ada) dan stempel sekolah yang bersangkutan.
Kata Pengantar
Daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, dan daftar lampiran bila ada
Abstraksi
Bagian inti pembahasan
Pendahuluan
Pendahuluan berisi atau mengungkapkan antara lain hal-hal sebagai berikut :
Latar belakang
Menggambarkan bahwa topik atau fokus permasalahan menarik dan relevan dengan upaya peningkatan mutu pembelajaran/ bimbingan dan konseling.
Menunjukkan bahwa topik atau fokus permasalahan tersebut bersifat spesifik, asli, dan belum pernah disajikan secara tertulis sebagai karya lomba keberhasilan pembelajaran/ bimbingan dan konseling.
Rumusan masalah atau pertanyaan penelitian, kajian, atau evaluasi yang menggambarkan ruang lingkup atau pembatasan kegiatan pembelajaran/ bimbingan yang dilakukan sesuai dengan topik atau fokus permasalahan.
Tujuan dan manfaat penelitian, kajian, atau evaluasi yang dilakukan. Rumuskan secara rinci tujuan dan manfaat kegiatan penelitian, kajian, atau evaluasi yang dilakukan.
Definisi konsep, definisi operasional, dan/atau kajian teoritis yang relevan.
Metodologi penelitian atau prosedur pembelajaran.
Metode penelitian atau prosedur pembelajaran/ bimbingan. Jelaskan secara rinci prosedur penelitian, penelitian tindakan kelas, kajian, atau evaluasi pembelajaran/bimbingan yang dilakukan.
Subjek penelitian, kajian, atau evaluasi. Jelaskan secara rinci pada kelas berapa kegiatan pembelajaran/bimbingan dilakukan, berapa banyak dan bagaimana karakteristik siswanya.
Teknik pengumpulan data. Jelaskan teknik pengumpulan data, seperti dengan tes, observasi, data sekunder, dan sebagainya.
Validasi instrumen penelitian, kajian, atau evaluasi. Jelaskan bagaimana instrumen itu divalidasi, seperti uji validitas, validasi sejawat, atau menggunakan instrumen yang terstandar.
Teknik analisis data. Jelaskan teknik analisis data, baik kuantitatif maupun kualitatif.
Laporan hasil penelitian atau kegiatan pembelajaran
Hasil penelitian kegiatan pembelajaran
Analisis hasil penelitian kegiatan pembelajaran
Kesimpulan dan saran-saran
Kesimpulan utama yang dapat diambil dari kegiatan pembelajaran/bimbingan
Saran-saran yang ditujukan baik kepada teman sejawat, pengelola pendidikan atau berbagai pihak lain yang relevan.
Bagian Akhir
Daftar pustaka
Lampiran data-data yang diperlukan untuk menunjang kebenaran laporan kegiatan, misalnya: data hasil belajar, instrumen pengukuran yang digunakan program pembelajaran atau proses bimbingan dan konseling dan lain-lain.
Setiap karya tulis ilmiah supaya dilampirkan biodata peserta yang disahkan oleh kepala sekolah (contoh terlampir).
KETENTUAN LOMBA
Lomba bersifat perseorangan.
Naskah lomba berupa hasil penelitian, penelitian tindakan kelas, kajian, atau evaluasi yang dilakukan secara ilmiah.
Peserta lomba hanya diperbolehkan mengirimkan satu karya tulis ilmiah yang sesuai dengan bidang tugas yang menjadi tanggungjawabnya (bila mengirimkan lebih dari satu, karya tulis ilmiah dinyatakan gugur).
Surat pernyataan penulis, bahwa naskah lomba tersebut asli hasil karya sendiri, bukan plagiat/jiplakan, dan belum pernah dinilai pada lomba sejenis, baik di dalam maupun di luar Departemen Pendidikan Nasional yang diketahui oleh kepala sekolah.
Jumlah halaman sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) halaman kertas berukuran A4, tidak termasuk bagian awal dan lampiran-lampiran.
Diketik 2 (dua) spasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang baik dan benar.
Naskah lomba dijilid dan diberi sampul dengan ketentuan:
Warna hijau untuk guru TK;
Warna merah untuk guru SD;
Warna biru untuk guru SMP;
Warna abu-abu muda untuk guru SMA;
Warna kuning untuk guru SMK; dan
Warna ungu untuk guru SLB
ASPEK YANG DINILAI
Keaslian atau orisinalitas hasil karya lomba yang dibuat oleh guru yang bersangkutan, bukan jiplakan karya orang lain.
Bersifat inovatif, spesifik dan sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, latar belakang siswa serta situasi/kondisi tempat guru bertugas.
Naskah ditulis sesuai dengan kerangka penulisan hasil laporan penelitian.
Hasil pembelajaran atau kebermanfaatannya dalam meningkatkan mutu pendidikan.
PERSYARATAN PESERTA
Peserta lomba adalah
Guru Taman Kanak-kanak (TK)
Guru Sekolah Dasar (SD) untuk guru kelas dan guru mata pelajaran
Guru Sekolah Menengah Pertama (SMP), Guru Sekolah Menengah Atas (SMA), Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk semua mata pelajaran.
Guru Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk guru kelas dan guru mata pelajaran.
Guru pembimbing atau guru bimbingan dan konseling
Masih aktif mengajar pada sekolah negeri atau sekolah swasta di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional, baik guru PNS maupun guru bukan PNS
Mempunyai masa kerja sebagai guru sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun dibuktikan dengan SK pengangkatan/penugasan pertama sebagai guru.
Bagi yang pernah 2 (dua) kali menjadi pemenang Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran Tingkat Nasional baik Pemenang I, Pemenang II, maupun Pemenang III dapat mengikuti lomba ini setelah 5 (lima) tahun atau lebih dihitung dari kemenangannya yang terakhir.
WAKTU PELAKSANAAN
Penerimaan naskah lomba dimulai sejak tanggal 2 Mei 2008 dan paling lambat tanggal 30 September 2008 (cap pos).
Karya lomba asli sebanyak 1 (satu) eksemplar dikirim kepada :

“Panitia Lomba Keberhasilan Guru Dalam Pembelajaran Tingkat Nasional”
Direktorat Profesi Pendidik
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Departemen Pendidikan Nasional
Up. Subdit Penghargaan dan Perlindungan
Gedung D Lantai 14 Jl. Jenderal Sudirman Pintu I Senayan, Jakarta Pusat
Telp. (021) 57974123
PENGHARGAAN BAGI PEMENANG
Bagi pemenang lomba disediakan hadiah berupa uang dengan total nilai sebesar Rp. 1.050.000.000,- (Satu milyar lima puluh juta rupiah) dan piagam dari Menteri Pendidikan Nasional.
KETENTUAN LAIN
Pada pojok kiri atas sampul pengiriman ditulis “GURU YANG PROFESIONAL DAN BERMARTABAT”.
Finalis Lomba akan dipanggil ke Jakarta untuk mengikuti seleksi penentuan pemenang lomba tingkat nasional pada bulan November 2008. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam rangka peringatan Hari Guru Nasional tahun 2008.
Naskah yang masuk menjadi milik Panitia dan hak penerbitan naskah berada pada Direktorat Profesi Pendidik, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional.
Keputusan panitia bersifat final
BIODATABIODATA PESERTA LOMBA KEBERHASILAN GURU
DALAM PEMBELAJARAN TINGKAT NASIONAL TAHUN 2008
Foto 3 x 4

1. Nama
2. NIP/NIGB/NIY *)
3. Jabatan
4. Pangkat/gol. Ruang
5. Tempat dan tanggal lahir
6. Jenis kelamin
7. Agama
8. Mata Pelajaran yang diajarkan
9. Masa kerja guru **)
10. Judul naskah lomba
11. Pendidikan terakhir
12. Fakultas/jurusan
13. Status perkawinan Kawin/belum kawin ***)
14. Sekolah
Nama sekolah
Jalan
Kelurahan/ Desa
Kecamatan
Kabupaten
Propinsi
Kode pos
Telepon
15. Alamat rumah
Jalan
Kelurahan/ Desa
Kecamatan
Kabupaten
Propinsi
Kode pos
Telepon
No. Hp
16. Prestasi dan Keberhasilan yang pernah dicapai ****) …



17. Lomba Keberhasilan Guru yang pernah diikuti Berapa kali… dan juara ke berapa…
……………, 2008
Mengetahui:
Kepala Sekolah, Peserta Lomba,
………………….. …………………..
NIP NIP
*) Dapat ditulis bagi yang memiliki
**) SK CPNS/Surat Pengangkatan menjadi guru dari yayasan dan SK terakhir
***) Coret salah satu
****) Dapat ditulis di kertas tersendir


Selasa, 20 Mei 2008

SASTRA MENGGUGAT TUAN GURU DI LOMBOK

SASTRA MENGGUGAT TUAN GURU DI LOMBOK


MATARAM - Seorang seniman teater dari Lombok Salman Faris meluncurkan karya sastranya, novel berjudul Tuan Guru. Jum’at (1/6) malam lalu, oleh Institut Studi Krisis dan Perdamaian (InSkrip) bekerja sama dengan Institut Rumah Arus (Irus) dilakukan diskusi dan bedah buku. Temanya Sastra Menggugat Tuan Guru. Padahal Tuan Guru, dua kata ini di Lombok adalah berarti kiyai. Seorang pemuka agama yang dihormati dan menjadi panutan masyarakat. Tetapi kesehariannya dinilai oleh Salman, banyak memperoleh keuntungan dari ketokohannya.

Novel Tuan Guru ini yang oleh sebagian pengunjung malam itu dinilai kontroversial, dibahas oleh Tuan Guru Haji Hamzah dari Pondok Pesantren Kiblatul Mustakim Jenggik Lombok Tengah dan seorang dosen Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Mataram Abudu Wahid. Juga pemerhati budaya Lalu Suprapta - yang berpangkat Komisaris Besar Pol sehari-hari Wakil Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Wakapolda NTB).

Naskah yang ditulis Salman Faris tahun 2006 lalu ini, disertai komentar dari kritikus seni-pemikir kebudayaan Nirwan Ahmad Arsuka, sastrawan pelaku teater dan dosen sosiologi Universitas Indonesia Radhar Panca Dahana, serta penyair-esais-kritikus seni Wicaksono Adi, dicetak Mei 2007, diterbitkan oleh Genta Press bersama Nusantara Cinema. Tebalnya 641 halaman yang terdiri dari 40 bagian.

Salman Faris sendiri mengatakan pandangannya melihat kembali pondok pesantren dari luar. ”Saya menulis Tuan Guru ini setelah 13 tahun di dunia teater. Ada persoalan substansial yang selalu ditutupi,” katanya sewaktu berbicara awal pada malam itu. Menurutnya, ada madrasah yang kondisinya lebih buruk walaupun tetap memperoleh dana bantuan hasil dari mengedarkan brosur yang tetap dijalankan di lingkungan masyarakat. ”Lalu kemana dananya. Saya sampai menangis sendiri,” ucapnya.

Kemudian, ia menunjuk ibunya sendiri seorang pedagang bakulan yang dibandingkannya dengan wanita di Jawa. Walaupun sama-sama buta huruf dan bodoh, namun wanita Jawa memiliki perubahan visi hidupnya. Tidak bergantung kepada kiainya. ”Kualitas kemanusiaannya lebih visioner,” ujarnya.

Lantas, yang disedihkan adalah seorang kawannya di pesanteren yang ditemukan bekerja di pom bensin (SPBU). Kenapa dulu tidak sekolah STM saja kalau kemudian hanya bekerja di SPBU. ”Saya tidak menentang atau menolak tuang guru. Tapi menyayangkan,” katanya. Karena itu ia menyontohkan kehidupan pemuka agama di Pakistan yang mengutamakan mengajarkan aqidah, walaupun mereka sendiri harus bekerja kasar. Sebaliknya, tuan guru di Lombok ada yang sedari dulu hanya menerima amplopan kehadirannya tetap sebesar Rp25 ribu. Menurutnya, seharusnya ada yang berubah. ”Ini semangat yang ada dari novel ini. Saya yang berani katakan pondok pesantren salah,” ucapnya.

Sebelumnya, mari kita perkenalkan diri Salman Alfarisi - demikian biasa dipanggil teman-teman senimannya. Pria, kelahiran Rensing Lombok Timur, 1974, yang kini sedang mengikuti program Strata 2 Antropologi pernah selama 13 tahun menjalani pendidikan Mahad di Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Pancor di Lombok Timur. Ia adalah tamatan Akademi Seni Drama Indonesia (Asdrafi) Yogyakarta 2000 dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta jurusan teater 2004 adalah pendiri Dapur Teater Lombok yang karyannya bernuansa kearifan lokal. Salman Alfarisi yang juga sempat dua tahun (1997-1999) di Malaysia untuk memahami kehidupan TKI.

Karyanya sendiri yang telah dipentaskan di Mataram, pertama adalah Rimba Jiwa Sunyi : Matinya Tradisi Di Atas Pertarungan Dua Kelamin (7/10-2004). Kedua, Perempuan-perempuanku Apa Maumu (25/11-2004). Ketiga, Perempuan dan Dedaunan Sama-Sama Tak Ingin Terbakar (29/11-2004). Keempat, Aku Hanya Menggoda (31/12-2004). Kelima, Airku, Airmu Air Bencana (12/1-2005). Setahun lalu, (27/2-2006), ia menampilkan Sekam - yang menggugat kebangsawanan pria di Lombok.

Adalah Paox Ibenz, direktur Irus, yang mengemukakan bahwa tidak pernah dibayangkan kalau para Tuan Guru yang pada 10an tahun lalu hanya dikenal sebagai pendulang suara pada pemilu kini ikut memasuki rana politik. ”Kini telah berubah. Karena itu Irus sebagai lembaga kajian dan transformasi tertarik terhadap bedah novel realis sosial ini,” ujarnya sewaktu berbicara sebagai pengantar acara.

Lalu Suprapta yang Wakapolda NTB tadi, memang senang dengan adanya karya Tuan Guru tersebut. Selama ini, sewaktu 24 tahun merantau, berada di luar Lombok, menunggu-nunggu karya sastra tertulis dari daerah Sasak ini. Padahal banyak karya sastra yang diilhami dari isi lontar yang didapat dari Lombok. ”Banyak karya sastra lisan. Kenapa tidak ditulis. Kenapa Lombok tidak maju,” katanya.

Tetapi mengemukakan pendapatnya, Suprapta mengatakan karya sastra dalam bentuk novel ini membuatnya terperangah. Isinya dinilai kontroversial. ”Saya kawatir terhadap buku ini,” ucapnya menilai. Disebutnya bahwa memang ada tiga kelompok Tuan Guru. Pertama, berperan memberikan kontribusi keberadaan pesantren. Kedua, pesantren dan tuan guru yang berguna dan berperan terhadap kehidupan masyarakat. Ketiga, bahwa tuan guru dianggap sebagai cahaya, penuntun yang fantastik. ”Kalau saya memilih yang kedua. Kemana masyarakat dibawa kalau tidak ada tuan guru,” ujarnya.

Karena itu, setelah membaca sebagian - karena belum selesai seluruhnya membaca novel Tuan Guru ini, mengajak Salman agar lain kali tidak menulis yang kontroversial. ”Jangan sampai ada orang yang tersinggung,” katanya.

Pemimpin Pondok Pesantren Kiblatul Mustakim Tuan Guru Haji Hamzah yang juga sarjana hukum dan mengajar pula di Universitas Nahdlatul Wathan, mengakui bahwa tuan guru memang masih dominan di masyarakat. Dibutuhkan sewaktu pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah, pelaksanaan Keluarga Berencana. ”Ulama itu ibarat bintang di langit. Bagaikan lampu dan pewaris nabi,” ucapnya.

Tiga kelompok tuan guru yang disebutnya adalah pertama yang menyandarkan hidupnya pada kehidupan. Kedua, bersifat bunglon. Samina Watona atau menerima dan bergantung kepada status quo. ”Leto lete ini itu iya,” ujarnya. Artinya kesana kemari dilakukan. Sedangkan yang ketiga, tidak menggantungkan dirinya hanya kepada Allah SWT yang disebutnya kemudian tuan guru yang bagaikan pedang yang bisa digunakan untuk apa saja.

Isi novel itu sendiri, dikritiknya ada bagian yang sensitif. ”Memang ada yang sensitifnya, istri tuan guru digituin ini yang sensitif,” katanya. Namun ia juga mengakui di sisi lain bahwa kehadiran masjid hanya ramai dari proposal pembangunannya. Tapi tidak ada yang memenuhi isinya.

Dosen Fakultas Dakwah IAIN Mataram Abudu Wahid menyebut novelnya Salman Faris ini memang dahsat. Novel ini utamanya adalah kritik sosial. Dikatakannya bahwa bukan tuan gurunya yang terpenting dari buku ini. Tapi adanya pengungkapan terjadinya kekerdilan dan penindasan. Itu sebabnya dikatakan bahwa kehadiran karya Salman ini sebaga peran sastra adalah nyata merupakan bagian yang penting dari sejarah. Tanpa keterlibatan sastra dalam sejarah menimbulkan banyak misteri. ”Penulis buku ini berontak. Tapi mencari jalan keluar menuju masyarakat demokratis agar tidak terjadi penindasan,” ucapnya.(supriyantho khafid)

Sumber : http://lomboknews.wordpress.com/2007/06/03/sastra-menggugat-tuan-guru-di-lombok/

Membuat Website Blog dengan www.wordpress.com

Membuat Website Blog dengan www.wordpress.com
July 13, 2007 by Hartoyo, MA. Ph.D

Ada banyak alternatif layanan pembuatan website, salah satu yang terpopuler adalah wordpress (http://www.wordpress.com) dan blogger (http://www.blogger.com). Mengapa memilih www.wordpress.com? WordPress menyediakan beberapa menu yang menarik dan cukup mudah untuk mengoperasikannya serta dilengkapi fasilitas free (gratis dalam membuat situs blog). Dengan bandwith + 50 Mb, menjadikan wordpress banyak diminati. Di samping penyediaan kapasitas yang besar, tersedia juga feature tambahan dan template, tanpa iklan, dan yang menarik adalah user dapat update dalam bentuk teks maupun gambar sekaligus, yaitu dengan copy - paste, dan hasilnya dapat dilihat langsung di internet. Tidak mengherankan kalau wordpress dimanfaatkan sebagai “catatan harian” (diary) oleh user, sehingga sesama pembuat blog dapat tukar informasi atau sebagai ajang unjuk berkomunikasi. Tidak hanya itu saja, fasilitas ini juga dapat digunakan sebagai media untuk belajar, memasukkan ideologi, karya monumental, dan sejenisnya baik bermakna positif maupun negatif, tergantung user blog.

Mari kita mencoba membuat website dengan www.wordpress.com, ikuti langkah-langkah sebagai berikut.
1. Pastikan e-mail anda masih aktif. Hal ini sangat penting, karena ketika akan registrasi akan ditanyakan e-mail yang dapat digunakan sebagai media untuk posting agreement dari www.wordpress.com saat melakukan transaksasi pembuatan domain, karena dari e-mail tersebut anda akan memperoleh username dan kata sandi (password). Kalau anda belum punya e-mail silakan buat dulu, agar mempercepat proses instalasi (pelajari cara membuat e-mail account).
2. Pastikan anda telah membuka situs wordpress di http://www. wordpress.com, ingat jangan sampai salah mengetikkan pada alamatnya.

3. Buat account baru, dengan cara klik “Start your free WordPress Blog WordPress Blog”. Dengan demikian, anda telah memilih registrasi gratis.

4. Isi form Registrasi yang telah disediakan www. wordpress.com
Masukkan username serta e-mail Anda. Anda tidak boleh mengarang, e-mail yang dibutuhkan adalah yang masih aktif, contoh: janky_04@yahoo.com.
Di bawah e-mail address, akan muncul agreement, yaitu dengan memberi tanda [√] pada kotak yang tersedia di depan “I have read and agree to the fascinating term of service”. Setelah memberi tanda setuju, anda dapat melanjutkan perintah pengisian form selanjutnya dengan mengklik next.
Adapun contoh pengisian form pendaftaran dapat dilihat pada gambar sebagai berikut.

Namun demikian, dakalanya ketika Registrasi terdapat peringatan bahwa username maupun e-mail address yang dimasukkan salah atau kebetulan telah digunakan user lain. Registrasi yang salah/telah dipakai user lain pasti dihighlight yang mempermudah user untuk membetulkan. Ketentuan pengisian username minimal 4 karakter (bisa huruf maupun angka).
Sebagai contoh bentuk koreksi Registrasi yang dapat diterima oleh www.wordpress.com adalah dengan mengganti username dan e-mail. Contoh dapat dilihat sebagai berikut.

Dan ketika Registrasi diterima, maka yang muncul adalah anda diminta untuk memberikan nama pada title blog anda. Title dapat dilihat manakala blog anda sudah on-line, yaitu sebagai header blog. Dalam contoh ini adalah Nailim sebagai title blognya.

Dengan meng-klik Signup, anda telah berhasil melakukan Registrasi, dan akan nampak pada halaman selanjutnya, perintah untuk memeriksa keaktifan e-mail anda.

Sementara menunggu (+ 30 menit) perintah selanjutnya, e-mail anda harus masih diaktifkan, karena melalui e-mail anda tersebut, pihak www. wordpress.com akan memberikan tanda kesepakatan (agreement acceptance) sekaligus password pribadi anda. Langkah selanjutnya adalah mengaktifkan Registrasi, dengan cara klik http://www.wordpress.com/activate/……,sebagaimana gambar berikut.

Langkah berikutnya adalah melihat dan mencatat username anda sendiri serta password yang telah diberikan pihak www.wordpress.com.

5. Walaupun resigistrasi sudah berhasil, namun perlu dicek hasil Registrasi tersebut, yaitu pada www.izza2004.wordpress.com secara langsung yang diberikan oleh www. wordpress.com tentang bisa/tidaknya aktivasi blog yang sudah dibuat, yaitu dengan cara login.

6. Ketika anda meng-klik www.izza2004.wordpress.com., maka akan muncul halaman, yang untuk membukanya diharuskan login sesuai dengan username, misalnya username: izza2004; password: ie90s6. Kalau anda susah mengingat password yang diberikan oleh www.wordpress.com, alangkah baiknya anda mengganti sendiri dengan klik “up date your profile or change your password”.
7. Ketika login berhasil, maka akan muncul halaman baru yang menyuguhkan menu di taskbar, yaitu my account, my dashboard dan new post, sebagaimana gambar berikut.

8. Dengan kehadiran 3 menu tersebut, anda bebas memilih. Untuk menyajikan suguhan supaya dapat dinikmati teman atau orang lain di dunia, maka anda cukup klik my dashboard, di sana akan muncul beberapa menu, yaitu dashboard, write, manage, comments, blogroll, presentation, users, option, dan upgrades.

9. Beberapa menu tersebut akan menjawab pertanyaan besar anda, mengapa web saya masih mulus? Supaya teman anda tidak kecewa dengan kekosongan web anda karena kering informasi maupun animasi gambar, klik write untuk membuat menu yang dapat dinikmati oleh teman, misalnya anda ingin mempublikasikan siapa diri anda, ketik my profile di bawah tulisan categories, lalu klik add>>, seketika itu di bawahnya akan muncul my profile. Untuk mengaktifkannya, anda cukup mencawang my profile dan pada sisi kiri, anda dapat memberi judul pada menu title, dan dapat memberikan isi pada menu post. Untuk mengetahui hasil dari profile anda, cukup dengan klik save dan publish, maka anda dapat melihat hasilnya dengan klik view site di menu taskbar.

10. Web yang isinya teks saja, akan terkesan kering dan statis, maka anda dapat menambah gambar, video, dan sebagainya. Cara anda persiapkan dulu file yang akan dipadukan dengan teks tersebut, setelah filenya siap, anda cukup klik browse pada menu write. Browse akan mencari dimana letak file yang anda simpan dan siap dieksekusi, supaya anda tidak lupa dengan file yang anda gunakan, maka pada dapat diberikan nama pada title. Lihat gambar sebagai berikut.

Setelah file selesai dieksekusi, klik upload, dan hasilnya dapat dilihat langsung, seperti contoh berikut.

Dengan demikian halaman web di atas tidak hanya teks yang terlihat, namun ada gambar yang dapat dinikmati. Untuk melihat hasil dari upload gambar tersebut, dapat meng-klik menu view site, sebagaimana gambar berikut.

11. Dengan demikian, ketika teman anda atau orang lain mau mengakses web anda, di halaman pertama sudah disuguhkan informasi serta visualiasasi gambar, sebagaimana gambar berikut.

12. Nah…..sekarang Web anda sudah dapat dinikmati teman anda maupun orang lain. Namun demikian perlu diingat bahwa jangan pernah lupa sign out, manakala anda telah login, dengan sign out halaman web anda akan aman dari orang yang tidak bertanggung jawab, yaitu dengan telah telah tertutup halaman web anda.
13. Untuk menambah kekayaan dan kemahiran web, anda sesering mungkin otak-atik sendiri. Pantang menyerah, dunia sekarang dalam genggamanmu.
14. Selamat mencoba

Rabu, 14 Mei 2008

CREATING DRAMA WITH POETRY

CREATING DRAMA WITH POETRY:
Teaching English As a Foreign Language ( TEFL )
Through Dramatization and Improvisation



Creating Drama with poetry is an exciting language learning experience. The technique uses multi approaches to language acquisition by involving second language learners physically, emotionally, and cognitively in the language learning process. The use of poetry as drama in the teaching English as a Foreign Language (EFL) classroom, enables the students to explore the linguistic and conceptual aspects of the written text without concentrating on the mechanics of language. Students are able to develop a sense of awareness of self in term of culture through the dramatic interpretations of the poems.
English as Foreign Language (EFL) in Indonesia becomes internalized as a direct result of placing the learners in the real situations. The students can use the target language for the specific purpose of communication. They experiment with non-verbal communicative aspects of language (body language, gestures, and facial expressions), as well as verbal aspects (intonation, rhythm, stress, slang, and idiomatic expressions), while interpreting the poems. The students begin to feel the language and get the confidence in interaction outside of the classroom using the target language.
Some poems are mini-dramas (short dramas), often written in dialogue form, and are suitable for dramatization, because they are short and usually in a simple, but strong emotional theme. "Poems which express strong emotions, attitudes, feelings, opinions, or ideas are usually more 'productive' than those which are gentle, descriptive, or neutral". Students become engaged in free incidental conversations as they interact with one another prior to the dramatizations and during the improvisations. The students compare and contrast cultural behaviors and attitudes, analyze and explore the linguistic and conceptual differences between the written and spoken word, and interact cooperatively to the dramatizations and improvisations.
In this technique, students have more responsibility for their own learning. It enables them to be active and creative in expressing of their talent. However, this does not reduce the importance of the teacher in the instructional process. It can give students realize their hidden aptitude in term of reading poetry and act it out in front of the public. It is the responsibility of the teacher to guide the language learning process by : modeling pronunciation, intonation, stress, rhythm, and oral expression. It also facilitate the comprehension of vocabulary, idioms, cultural aspects, and plot; stimulating interest and conversation, interacting with the students; establishing an acting workshop atmosphere; creating a student participation in language learning experience.
By applying this technique, students are trained and taught not only to act out or performance what they are being learnt, but also to practice students’ skills (reading, speaking, listening, writing, vocabulary, pronunciation, etc). This is also very useful to reduce students’ bored in learning English. It is might be applied to solve the latest issues which claims that teaching English in Indonesia has been failed. It is proved by the lack of students’ proficiency in speaking, writing and any other skills. Hopefully, by means of drama with poetry, it could become a new invention in term of teaching English as foreign language (EFL) in Indonesia.
In teaching this, teacher should prepare an appropriate scenario. It is an important thing that must be applied in order to gain an optimal outcome. At first, the teacher provides students with the background to the poem and introduces difficult or unusual vocabulary. The teacher then reads the poem aloud to the students. After the poem is read aloud, the class discusses it together. Students then listen again as the teacher re-read the poem. In the next step, the students read the poem altogether and then take turns reading it aloud individually.
The students then prepare to dramatize / act out the poem by selecting character roles and discussing scenery, setting, lighting, and costumes. Students re-train the dramatization of the poem and then do an improvisation based on the poem. After experimenting with characters, interactions, and dialogues, the class discusses the improvisation.
The EFL teacher needs to create poetry by selecting and categorizing a substantial variety of poems carefully. In selecting poems, special consideration must be given to appropriateness, such as: students' language level skills, students' ages and students’ interests. Categorizing poems makes them easy to reference and integrate into other instructional disciplines (i.e., science, health, math, and citizenship) and themes (i.e., holidays and seasons).
To further facilitate the communicative approach to foreign language acquisition, the EFL teacher can record the dramatizations and improvisations. A great deal of conversation will be stimulated when the students remember their experiences through tape recordings, video recordings, and also photography.
The teacher should plan follow-up activities about the dramatizations and improvisations that allow for individual expression of the cooperative experience. The students can illustrate and write about the activity or poem. Future lessons can also include the dramatization and improvisation of short stories, fables, and plays. The same techniques and follow-up activities should be employed.
From the description above can be concluded that the use of poetry in the EFL classroom enables students to explore the linguistic and conceptual aspects of the written text without concentrating on the mechanics of language. The dramatization of poetry is a powerful tool in stimulating learning while acquiring a foreign language because the learners become intellectually, emotionally, and physically involved in the target language within the framework of the new culture.
Poetry rich in dialogue provides students with a dramatic script. Drama places the learners in the real situations. Learners use the target language for specific purposes, language is more easily internalized and, therefore, language is remembered.

MENGGUGAT SISTIM PEMBELAJARAN BAHASA DI INDONESIA

BOOK REVIEW "Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia
Dalam Konteks Persaingan Global
Penulis :
Prof. DR. A. Chaedar Alwasilah, MA

Reviewer : Jasmansyah


Mencermati sejumlah persoalan yang dihadapi bangsa saat ini, kita patut bersedih dan berduka. Wajah bopeng negeri ini yang telah di diagnose sejak setengah abad silam belum memperlihatkan tanda-tanda akan segera membaik. Sejak gendrang kemerdekaan setengah abad silam, negeri yang berpenduduk lebih dari 200 juta ini terus menerus ditimpa masalah yang tak kunjung usai. Berbagai permasalahan bangsa datang silih berganti. Bak gayung bersambut, satu persoalan berhasil diselesaikan, muncul persoalan baru yang lebih komplek dan mewabah ke berbagai sisi kehidupan. Lebih-lebih di era keterbukaan seperti saat ini, sebilangan “borok” mulai mengemuka seiring dengan kebijakan pemerintahan baru yang menginginkan perubahan dan perbaikan di segala bidang. Masalah-masalah krusial dalam bidang politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan, pertahanan keamanan adalah agenda besar yang harus diatasi pemerintahan saat ini. Sebagai warga negara kita malu mendengar berbagai lebel negatif yang yang dihadiahi oleh beberapa negara di dunia. Sejumlah sebutan dialamatkan kepada kita, seperti negeri sarang teroris, terkorup, SDM yang sangat lemah, ekonomi amburadul dll.
Dalam buku setebal xix + 207 halaman yang ditulis oleh Prof. DR. A. Chaedar Alwasilah, M.A, penulis mengangkat salah satu isu krusial bangsa, yakni tentang pendidikan. Buku yang diberi judul “Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global”, penulis mengungkap berbagai berbagai persoalan pendidikan dari berbagai sudut pandang. Agar masalah tidak melebar, penulis membatasi pada salah satu bagian terkecil dari masalah pendidikan yakni tentang pendidikan bahasa, yang disertai sejumlah solusi konstruktif. Kritikan terhadap berbagai kebijakan “policy” yang diterapkan pemerintah dalam pembelajaran bahasa, menghiasi lembar demi lembar buku tersebut. Untuk memperkuat pernyataannya, penulis menyertakan beberapa hasil survey dan research yang dilakukan penulis sendiri maupun dari beberapa ahli yang punya kepedulian dalam kajian yang sama. DR. Bachrudin Musthafa, MA. salah seorang murid sekaligus tenaga pengajar pada UPI Bandung ikut memberikan pengantar di dalamnya. Dengan bahasanya yang khas, dia (Bachrudin Musthafa) menggambarkan buku tersebut sebagai sebuah rontaan intelektual yang sangat akademis.
Sumpah pemuda yang didengungkan oleh para pemuda dan pejuang bangsa tanggal 28 Oktober 1928, menjadi acuan yang mendasar ketika berbicara tentang bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa di dunia, telah dijadikan sebagai bahasa resmi negara dan juga sebagai bahasa nasional. Sebagai bahasa resmi negara, dan bahasa nasional, hendaknya hal ini dapat dikembangkan dan difungsikan sebagai alat untuk membangun bangsa dalam semua aspek kehidupan. Kegagalan kita dalam kontek ini adalah penyalahgunaan bahasa dalam kehidupan. Bahasa bukannya sebagai alat membangun bangsa, sebaliknya dimanfaatkan untuk menutupi aib sendiri dan juga sebagai komoditas politik.
Hal ini sangat jauh berbeda jika dikomparasikan dengan beberapa negara lain dunia. Mereka menfungsikan bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi dan interaksi sosial, tapi juga sebagai alat untuk maju dan berkembang seiring dengan perkembangan dunia yang semakin kompetitif. Bahasa digunakan bahasa sebagai alat untuk menguasai berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Walhasil, mereka dapat berkembang dan maju dengan cepat. Berbagai temuan-temuan “invention” baru dipublikasikan dan dikoodifikasi dalam bentuk buku, jurnal, karya ilmiah dll. Budaya tulis bagi mereka adalah suatu kewajiban yang harus dikuasai. Tak mengherankan apabila ratusan bahkan puluh ribu buku baru berhasil diterbitkan setiap tahunnya.
Sekjen PWI, Parni Hadi, beberapa waktu lalu melaporkan bahwa di negara-negar berkembang, setiap satu juta penduduk terbit 55 buah buku per tahun. Sedangkan di negara maju mencapai 515 judul buku per satu juta penduduk setiap tahun. Sedangkan di Indonesia baru bisa menerbitkan sekitar 12 judul buku per satu juta penduduk setiap tahun. Data tersebut menyiratkan kepedihan yang mendalam, betapa rendahnya kualitas SDM di negara kita. Menyikapi fenomena di atas, penulis membahas dalam bab tersendiri ihwal pentingnya menulis dalam upaya meningkatkan SDM menghadapi era globalisasi. Selain itu, di beberapa bagian lain dari buku tersebut dikampanyekan arti pentingnya budaya tulis.
Setiap tahun ribuan sarjana S1 sampai S3 dari berbagai disiplin ilmu diwisuda. Dari angka tersebut, jumlah sarjana yang mengimplementasikan ilmunya dalam bentuk karya tulis masih bisa dihitung dengan jari. Para mahasiswa dipaksakan untuk bisa menulis, karena harus menyelesaikan Tugas Akhir, Thesis, Disertasi dan sejenisnya yang membutuhkan skill tersebut. Kegagalan para mahasiswa dalam menulis dan berkarya tulis, tak bisa lepas dari peranana guru/dosen. Peran guru, dosen dalam hal ini memilki andil yang cukup besar dalam menghitam-putihkan mahasiswanya. Berbagai penelitian dan survey memperlihatkan bahwa sebagian besar mereka lebih suka mengajar teori daripada praktik menulis. Pengajaran struktur bahasa, teori-teori bahasa dan sejenisnya adalah materi-materi yang lebih dominan diajarkan pada para mahasiswa. Disamping itu, kemampuan para guru/dosen dalam mengajarkan writing menjadi isu sentral yang tak terbantahkan, mengapa para guru/dosen malas mengajarkan writing.
Pengajaran bahasa Inggris mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia. Bertahun-tahun para siswa belajar bahasa Inggris, mulai dari bangku SD sampai SMA bahkan Perguruan Tinggi. Namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Diakui atau tidak, bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional, bahasa ilmu pengetahuan dan tehnologi, hendaknya dapat dikuasai secara baik, secara lisan maupun tulisan. Karena sebagian besar buku teks yang beredar saat ini ditulis dalam bahasa Inggris. Konskwensinya, mau tidak mau kita harus menguasai bahasa tersebut.
Kurangnya penguasaan dosen/mahasiswa dalam bahasa Inggris, ditengarai menjadi salah satu penyebab lemahnya budaya tulis. Pada sisi yang sama berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi datang dari Barat. Para ilmuan Barat menulisnya dalam bahasa Inggris. Jadi, untuk bisa mengadopsi ilmu mereka harus bisa dan paham bahasa mereka. Sebagai analogi, Jika kita menulis paper, skripsi atau sejenisnya, berapa persen dari literatur yang dirujuk menggunakan bahasa Indonesia? Kurangnya referensi/ literatur keilmuan dalam bahasa Indonesia disebabkan oleh kurangnnya kemampuan dosen/ahli ilmu lainnya berkarya tulis. Jika diamati lebih jauh, kita memiliki ratusan bahkan ribuan ilmuwan dengan latar belakang ilmu pengetahuan yang berbeda. Kalau saja mereka menuangkan kemampuan inlektualnya dalam bentuk karya tulis (buku teks, artikel, jurnal dll), tentu kita akan memiliki banyak sekali literatur yang berkualitas dan bernilai jual tinggi.
Banyak langkah urgen yang harus dilakukan agar bisa berkompetisi dalam era global. Hal-hal mendasar dan krusial hendaknya menjadi prioritas untuk dalam rangka memperbaharui sistem yang telah ada. Tersedianya perangkat pembelajaran yang memadai, kurikulum pendidikan yang teruji, SDM yang berkualitas, dana yang cukup adalah sebilangan hal-hal krusial yang harus segera diatasi. Semua itu membutuhkan kesabaran dan waktu yang cukup lama.
Berbagai persoalan ihwal pengajaran bahasa di Indonesia tidak hanya menimpa sekolah menengah (SMP/SMA), tetapi juga sudah mewabah sampai Perguruan Tinggi (PT). Kebijakan pemerintah memberlakukan MKDU bahasa Indonesia atau bahasa Inggris di PT, pada tataran implementasi sudah out of control. Pengajaran MKDU bahasa Indonesia merupakan pengulangan materi SMA/SMU, atau lebih ditekan pada struktur kalimat, teori menulis dll. Dampaknya, dosen mengajar “semau gue”, dan mahasiswa belajar untuk lulus ujian dan memperoleh nilai yang diinginkan. Pengajaran bahasa Inggris juga bernasib sama. Penguasaan berkomunikasi, menulis, mendengar dan sejenisnya yang semula menjadi pijakan, telah berubah menjadi menjadi pengajaran tata bahasa/grammar. Tak mengherankan, kalau penulis menginginkan agar MKDU bahasa Indonesia dan bahasa Inggris di PT dirombak bahkan dibuang saja, karena tidak sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
Mencermati uraian di atas, sebagai anak bangsa hendaknya menyadari arti pentingnya belajar dan membelajarkan bahasa. Sudah saatnya lengan baju disingsingkan untuk membenahi dan meminimalisir berbagai persoalan pendidikan –khususnya pengajaran bahasa- yang sedang dialami bangsa. Marilah kita kembali ke posisi masing-masing. Berbuat, berjuang dan terus berjuang agar mimpi kita saat ini suatu saat menjadi kenyataan. Tidak ada kata terlambat kalau kita mau berubah. Mengutip ungkapan Aa Gym: Mulailah dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulailah sekarang juga.
Buku ini boleh dianggap sebagai buku yang sangat berani menyuarakan kebenaran. Sebilangan masalah krusial dalam pengajaran bahasa di Indonesia dikupas tuntas. Berbagai kritik konstruktif terhadap kebijakan pemerintah ikut membumbui setiap bahasannya. Buku ini terdiri dari 6 bab, dimana pada masing-masing bab terdapat sejumlah anak tema. Untuk menghilangkan kesalahpahaman pembaca pada beberapa istilah, pada akhir setiap bab dilengkapi catatan akhir yang memuat penjelasan tentang suatu istilah.
Terbitnya buku ini diiringi sejumlah harapan, kiranya pendidikan bahasa di Indonesia bisa lebih baik dari waktu ke waktu. Khususnya bagi pemerhati dan pihak-pihak yang terlibat dan penentu kebijakan policy maker mudah-mudahan ini dapat digunakan sebagai acuan untuk membuat suatu kebijakan pendidikan yang lebih bijaksana. Para penggiat bahasa, hendaknya bisa menarik sejumlah kesimpulan atau intisari dari buku sederhana ini, dalam rangka meningkatkan SDM dalam bidang bahasa. Semoga pengajaran bahasa bisa semakin baik pada masa-masa mendatang. Amin.

Reviewer adalah Mahasiswa S2 Prog. Bahasa Inggris UPI Bandung

REFLEKSI PENGAJARAN WRITING

REFLEKSI PENGAJARAN WRITING
Sebuah pengalaman pribadi ihwal belajar menulis

Oleh : JASMAN SYAH (049478)


Mengawali tulisan ini, saya akan bercerita pengalaman belajar ketika S.1. Ketika belajar writing di S.1, saya selalu mendapatkan nilai yang bagus. Dosen writing saya adalah lulusan S.1 salah satu PTN di Mataram NTB. Dalam proses pembelajaran writing bahasa Inggris, beliau banyak mengajarkan teori-teori tentang bagaimana menulis, cara membuat paragrap, menentukan idea pokok, dan sejenisnya. Setelah itu para mahasiswa diminta untuk membuat tulisan berupa artikel, cerpen, karangan bebas dll. Tugas-tugas tersebut dikumpulkan sebagai syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah writing, dan juga untuk mendapatkan nilai UAS. Sayangnya, apa yang telah saya kumpulkan tidak dikembalikan, sehingga saya tidak tahu kelemahan dan kelebihan tulisan saya. Walaupun begitu, saya cukup puas karena nilai yang diberikan cukup memuaskan.
Lain di S.1 lain pula ceritanya ketika saya pertama kali diminta menulis artikel bahasa Indonesia oleh salah seorang dosen di S.2 UPI. Awalnya saya menganggap bahwa writing di S.1 tidak jauh beda dengan S.2. Kalau di S.1 saya bisa menulis dengan baik, kenapa sekarang tidak?. Saya pun mulai menulis sebuah artikel tanpa ada beban. Hanya satu yang terlintas dalam benak saya bahwa artikel yang saya tulis akan bisa diterima langsung tanpa banyak kesalahan.
Ketika tulisan saya dikembalikan, saya terperanjat melihat warna merah yang menghiasi artikel saya. Setiap paragrap dari artikel tersebut saya amati secara seksama. Pada setiap paragrap, kalimat, kata, bahkan hurup yang dihiasi tinta merah (kebetulan mengoreksi dengan tinta merah) saya perhatikan dengan sangat serius. Perlahan tapi pasti, titik terang ihwal kelemahan saya dalam menulispun mulai terasa. Apalagi setelah melihat catatan merah yang ditulis dosen di akhir artikel. Mulai saat itulah saya menyadari bahwa menulis itu sebenarnya suatu pekerjaan yang sulit dan perlu latihan secara terus menerus.
Dari artikel yang telah dikoreksi oleh dosen, saya banyak belajar dan bercermin. Hal tersebut cukup membantu saya dalam rangka memperbaiki kelemahan yang selama ini saya alami. Setiap coretan atau komentar yang ditulis saya anggap sebagai obat mujarab dalam rangka menyembukan penyakit kronis yang selama ini saya derita. Semua itu memberikan inspirasi baru yang sangat luar biasa dalam memperbaiki kelemahan saya. Ungkapan yang mengatakan bahwa orang yang baik adalah orang yang belajar dari kesalahan sangat tepat untuk menganalogikan cara belajar seperti ini.
Selain itu, collaborative writing yang dianjurkan oleh dosen cukup membantu saya dalam mengembangkan tulisan agar lebih baik. Dengan sistim ini saya banyak belajar dan berdiskusi langsung dengan teman. Karena saya menyadari bahwa setiap individu memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda. Jadi, dengan collaborative writing kekurangan saya pada hal-hal tertentu dapat terjawab karena adanya koreksi atau masukan dari beberapa teman. Menurut saya, tehnik pembelajaran writing yang diterapkan Prof. DR. A. Chaedar Alwashilah, MA., sangat positif dan konstruktif dalam meningkatkan kemampuan saya ihwal writing skill. Sistim ini benar-benar baru buat, tapi punya manfaat secara langsung yang cukup signifikan.
Menurut saya, tekhnik belajar writing seperti ini perlu dikembangkan dan disosialisasikan. Hal ini cocok diterapkan mulai SMP sampai PT. Disamping dapat memberikan penilaian secara langsung pada hasil kerja siswa/mahasiswa, teknik ini juga sangat membantu dalam hal interaksi sosial antara siswa/mahasiswa.
Terima kasih saya ucapkan pada Bapak Prof. DR. A. Chaedar Alwashilah, MA. selaku pembimbing dan telah menganugrahkan segenggam mutiara yang selama ini saya cari. Insya Allah, mutiara yang telah bapak berikan, akan saya bagi-bagi pada setiap orang yang peduli tentang pendidikan, khususnya pengajaran menulis di Indonesia. Keinginan Bapak untuk memperbaiki dan mengubah sistim pendidikan yang selama ini masih amburadul dapat segera tercapai. Sebagai mahasiswa Bapak, saya hanya bisa berdoa dan membantu, semoga cita-cita Bapak dikabulkan oleh Allah SWT. Semoga jerih payah Bapak selama ini dibalas dengan ganjaran yang setimpal dariNya. Amin ya Rabbal Alamin.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UPI Bandung

URGENSI REFORMASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

URGENSI REFORMASI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh : Jasman Syah)*
NIM : 049478


“Kami akan konsen memikirkan kondisi pendidikan di negara kita, agar bisa berkompetisi dengan negara–negara lain di Asia Tenggara maupun negara–negara lain di dunia. Kami juga akan mengalokasikan dana APBN sekitar 20 % untuk membangun dunia pendidikan lima tahun ke depan. Selain itu, para para pegawai yang terlibat baik langsung atau tidak dalam dunia pendidikan, akan kami perhatikan dengan serius kesejahteraanya, agar mereka lebih konsentrasi mendidik dan memberikan pelayanan kepada para pelajar yang notabene adalah penerus dan calon pemimpin masa depan bangsa”.
Itulah penggalan pidato kampanye yang dilontarkan oleh salah satu pasangan capres dan cawapres ketika kampanye pada PILPRES tahun 2004. Pernyataan atau “janji” tersebut paling tidak dapat digunakan sebagai pegangan dan catatan penting untuk menagih janji mereka. Karena rakyat Indonesia saat ini tidak hanya butuh janji, melainkan “concrete action” yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya dalam bidang pendidikan. Reformasi menyeluruh dalam bidang pendidikan hendaknya menjadi prioritas pertama dan utama pada agenda pemerintahan lima tahun mendatang. Keinginan masyarakat akan pendidikan murah, penyediaan sarana dan prasarana belajar yang memadai, tenaga pendidikan yang professional kiranya dapat segera terealisasi.
Melihat kondisi bangsa saat ini, janji-janji yang dilontarkan oleh para calon pemimpin bangsa saat kampanye, minimal bisa membawa angin segar bagi perubahan dunia pendidikan di Indonesia. Mengingat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini sangat memperihatinkan bila dilihat dari tantangan global yang dihadapi bangsa, serta bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, bahkan dengan Negara Asia dan ASEAN sekalipun. The Jakarta Post, edisi 3 September 2001 mempublikasikan hasil Survey yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Country (PERC) sebuah lembaga konsultan di Singapura. Hasil tersebut mencerminkan betapa rendahnya kualitas pendidikan kita saat ini dibandingkan dengan negara-negara lain. Hasil tersebut dapat dilihat pada table berikut:
Peringkat Kualitas Pendidikan di Asia

1 Korea Selatan 3,09
2 Singapura 3,19
3 Jepang 3,50
4 Taiwan 3,96
5 India 4,24
6 Cina 4,27
7 Malaysia 4,41
8 Hongkong 4,72
9 Pilipina 5,47
10 Thailand 5,96
11 Vietnam 6,21
12 Indonesia 6,56

Survey yang dilakukan oleh United National Development Program (UNDP) beberapa waktu yang lalu mengindikasikan betapa terpuruknya kualitas pendidikan kita. Dari 174 negara yang disurvey, Indonesia berada pada posisi yang sangat memperihantinkan dibanding beberapa negara tetangga. Indek kualitas Sumber Daya Manusia atau Human Development Index (HDI) Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan drastis. Pada tahun 1996 berada pada peringkat 102, 1999 turun menjadi peringkat 102, dan tahun 2000 HDI berada pada urutan 109, satu peringkat lebih rendah dari Vietnam yang berada pada urutan ke 108.
Peringkat SDM beberapa negara di Asia Tenggara
Nama Negara Peringkat HDI
Singapura 34
Brunai Darussalam 36
Thailand 52
Malaysia 53
Vietnam 108
Indonesia 109

Sumber : Survey yang dilakukan oleh UNDP pada tahun 2000

Tabel di atas mengindikasikan betapa rendahnya kualitas SDM kita sebagai akibat dari sistim pendidikan yang kurang optimal. Di samping itu, kurangnya perhatian pemerintah dalam dunia pendidikan menjadi suatu faktor yang tidak terbantahkan. Karenanya, sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia perlu dibenahi kembali, dengan melakukan inovasi-inovasi pendidikan dengan mengikuti perkembangan IPTEK dan tuntutan kebutuhan masyarakat secara berkala. Inovasi pendidikan tersebut diperlukan agar pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tetap up-to-date. Inovasi tersebut menyangkut beberapa aspek, antara lain berkaitan dengan kurikulum, materi pembelajaran, metode pembelajaran, sarana penunjang, termasuk peralatan pembelajaran yang memadai baik kualitas maupun kuantitas. Tentunya semua itu akan dapat terwujud bila biaya untuk dunia pendidikan memadai dan sesuai dengan kebutuhan.
Pergantian rezim pemerintahan dan pergantian kurikulum pendidikan telah yang dilakukan beberapa kali, ternyata belum bisa menaikkan “rating” bangsa Indonesia dari keterpurukannya dalam hal pendidikan. Sebagai bangsa yang besar dan telah menikmati alam kemerdekaan lebih dari setengah abad, tentu ini merupakan prestasi yang sangat memperihatinkan. Lambannya langkah pemerintah dalam menangani dunia pendidikan merupakan salah satu fakor yang harus segera diatasi. Analoginya, beberapa negara di dunia melangkah dengan kecepatan 1 kilometer per menit, bangsa Indonesia baru bisa melangkah 100 meter per menit.
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam UU SISDIKNAS nomor 20 tahun 2003, pemerintahan yang akan datang harus bekerja ekstra keras.. Tujuan pendidikan yang tidak hanya sebagai “konsep” atau “teori” belaka, tetapi dapat terwujud secara maksimal serta dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, partispasi, kerja keras dan kerjasama semua pihak dalam hal ini sangat diharapkan. Para pendidik, pelajar, masyarakat dan atau siapa saja yang peka dan mau peduli dengan masalah pendidikan, kiranya dapat secara bersama-sama memikirkan dan memberikan konstribusi bagi kemajuan dunia pendidikan. Karena untuk mencapai target tersebut, tidak bisa dicapai hanya dengan angan-angan, tetapi dibutuhkan “concrete action” semua pihak.
Menengok sejarah pendidikan beberapa tahun ke belakang, akan terlihat bagaimana kelambanan kita dalam menangani masalah ini. Beberapa tahun lalu, banyak pelajar dan mahasiswa dari luar negeri seperti Malaysia, Philipina, Singapura “hijrah” ke Indonesia untuk mendalami sains dan tehnologi. Kita boleh berbangga hati karena telah dipercaya oleh beberapa negara tetangga sebagai tempat mendalami IPTEK yang cukup berkualitas. Tentu saja mereka melakukan itu karena pendidikan di Indonesia dianggap memiliki kelebihan tersendiri yang tidak dijumpai di negara mereka. Namun sekarang, negara–negara yang dulu “berguru” ke Indonesia, kini sudah bisa menjadi guru di negeri sendiri, bahkan jauh lebih baik dibanding pendidikan di negara kita. Walhasil, banyak putra-putri bangsa Indonesia saat ini mendalami ilmu pengetahuan dan tehnologi di negara mereka.
Fenomena yang dideskripsikan di atas, paling tidak sebagai referensi, apa yang harus dilakukan ke depan? Bagaimana konsep pendidikan yang ideal agar lebih mempercepat kebangkitan pendidikan di Indonesia? Apa langkah–langkah kongkrit yang mesti diterapkan?
Untuk menjawab semua itu tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak hal yang harus dilakukan oleh pemerintahan yang akan datang. Dalam mengambil kebijakan misalnya, pemerintah harus tetap mengacu pada sistim skala prioritas agar ketimpangan–ketimpangan yang tidak perlu, dapat dihindari. Konsep-konsep pendidikan juga diharapkan dapat diimplementasikan secara optimal, agar antara konsep dan implementasi dapat saling mendukung dan sejalan, karena keduanya memiliki signifikansi yang sama. Demikian juga dengan “concrete action” pemerintah dan atau pelaksana pendidikan lainnya diharapkan bisa bersama-sama saling mendukung dengan tidak mengklaim kelompok tertentu sebagai kelompok yang paling berjasa.
Pemerataan dalam dunia pendidikan juga mutlak diperlukan untuk menghapus “image” yang berkembang bahwa pemerintah “tidak adil” dalam mengeluarkan kebijakan pendidikan. Hal ini beralasan karena antara masyarakat yang ada dikawasan Barat dan Timur ada jurang pemisah yang cukup terjal. Opini masyarakat yang terkesan pemerintah “menganaktirikan" komunitas kawasan timur Indonesia, sedapat mungkin bisa dihilangkan, agar pemerataan pendidikan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, “komersialisasi pendidikan” yang saat ini dikritik banyak kalangan, hendaknya dapat dihindari dengan menyediakan anggaran dan biaya pendidikan yang cukup. Hal ini dimaksudkan agar “setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dapat diwujudkan.
Budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang belakangan ini menjadi isu nasional, hendaknya dapat diminimalisir kalau belum bisa dihapus sama sekali. Dalam penentuan person yang yang akan menempati posisi strategis harus lebih selektif. Karena sebagai “policy maker” di tangan merekalah semua persoalan pendidikan akan dapat terselesaikan. Termasuk penerimaan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) dilingkungan Departemen Pendidikan Nasional hendaknya dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan mengedapankan prinsip abilitas, kapabilitas dan profesionalisme dari calon tersebut.
Saat ini, kurang lebih 220 juta penduduk Indonesia menggantungkan harapan besar pada pemimpin bangsa pasca pemilu yang telah dilaksanakan beberapa waktu lalu. Beban pemerintahan baru untuk 5 tahun ke depan tergolong sangat berat. Pemerintah mendatang tidak hanya dituntut untuk merealisasikan janji-janji kampanye pra PEMILU, tetapi juga harus menuntaskan berbagai persoalan bangsa yang saat ini masih belum dapat teratasi. Dukungan dan kerja keras seluruh elemen masyarakat sangat menentukan keberhasilan program pemerintah 5 tahun ke depan. Salah satu agenda besarnya adalah mengatasi krisis multi dimensi yang saat ini masih menyelimuti negeri ini. Yang pasti “reformasi menyeluruh” harus dilakukan pada semua aspek kehidupan berbangsa bernegara, termasuk yang paling urgen adalah reformasi dalam bidang pendidikan. Reformasi dalam makna yang positif dan konstruktif, dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip kenegaraan yang ada, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Semoga dapat terealisasi dengan optimal, amin.




)* Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarja (PPs) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Program studi Pendidikan Bahasa Inggris

Sertifikasi Guru Untuk Mewujudkan Pendidikan Yang Bermutu?

Sertifikasi Guru Untuk Mewujudkan Pendidikan Yang Bermutu?

dr. Fasli Jalal, Phd.



PENDAHULUAN

Pendidikan yang bermutu memiliki kaitan kedepan (Forward linkage) dan kaitan kebelakang (Backward linkage). Forward linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktik pendidikan yang bermutu. Backward linkage berupa bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat.

Karena keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, hampir semua bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyak negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai. Beberapa negara yang mengembangkan kebijakan ini bisa disebut antara lain Singapore, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut berupaya meningkatkan mutu guru dengan mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu dengan melaksanakan sertifikasi guru. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru.
UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN

Indonesia pada tahun 2005 telah memiliki Undang-Undang Guru dan Dosen, yang merupakan kebijakan untuk intervensi langsung meningkatkan kualitas kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru memiliki kualifikasi Strata 1 atau D4, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok guru. Di samping UUGD juga menetapkan berbagai tunjangan yang berhak diterima guru sebagai upaya peningkatan kesejahteraan finansial guru. Kebijakan dalam UUGD ini pada intinya adalah meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatkan kesejahteraan mereka.

Sudah barang tentu, setelah cukup lama melakukan sosialisasi UUGD ini, patut mulai dipertanyakan apakah sertifikasi akan secara otomatis meningkatkan kualitas kompetensi guru, dan kemudian akan meningkatkan mutu pendidikan? Adakah jaminan bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu?

Pertanyaan ini penting untuk dijawab secara kritis analitis. Karena bukti-bukti hasil sertifikasi dalam kaitan dengan peningkatan mutu guru bervariasi. Di Amerika Serikat kebijakan sertifikasi bagi guru belum berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru, hal antara lain dikarenakan kuatnya resistensi dari kalangan guru sehingga pelaksanaan sertifikasi berjalan amat lambat. Sebagai contoh dalam kurun waktu sepuluh tahun, mulai tahun 1997 – 2006, Amerika Serikat hanya mentargetkan 100.000 guru untuk disertifikasi. Bandingkan dengan Indonesia yang dalam kurun waktu yangb sama mentargetkan mensertifikasi 2,7 juta guru. sebaliknya kebijakan yang sama telah berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru di Singapore dan Korea Selatan.
SERTIFIKASI PROFESI GURU

Undang-undang Guru dan Dosen merupakan suatu ketetapan politik bahwa pendidik adalah pekerja profesional, yang berhak mendapatkan hak-hak sekaligus kewajiban profesional. Dengan itu diharapkan, pendidik dapat mengabdikan secara total pada profesinya dan dapat hidup layak dari profesi tersebut.

Dalam UUGD ditentukan bahwa seorang:
Pendidik wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran.
Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau program diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan tugasnya sebagai guru untuk guru dan S-2 untuk dosen.
Kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

Pertama, kompetensi pedagogik. Adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Kedua, kompetensi kepribadian. Adalah kepribadian pendidik yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.

Ketiga, kompetensi sosial. Adalah kemampuan pendidik berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat.

Keempat, kompetensi profesional. Adalah kemampuan pendidik dalam penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memperoleh kompetensi yang ditetapkan.

Untuk dapat menetapkan bahwa seorang pendidik sudah memenuhi standard profesional maka pendidik yang bersangkutan harus mengikuti uji sertifikasi.

Ada dua macam pelaksanaan uji sertifikasi:
Sebagai bagian dari pendidikan profesi, bagi mereka calon pendidik, dan
Berdiri sendiri untuk mereka yang saat diundangkannya UUGD sudah berstatus pendidik.

Sertifikasi pendidik atau guru dalam jabatan akan dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk kumpulan dokumen yang mendeskripsikan:
kualifikasi akademik;
pendidikan dan pelatihan;
pengalaman mengajar;
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
penilaian dari atasan dan pengawas;
prestasi akademik;
karya pengembangan profesi;
keikutsertaan dalam forum ilmiah;
pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Guru yang memenuhi penilaian portofolio dinyatakan lulus dan mendapat sertifikat pendidik. Sedangkan guru yang tidak lulus penilaian portofolio dapat:
melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi portofolio agar mencapai nilai lulus, atau
mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan evaluasi/penilaian sesuai persyaratan yang ditentukan oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi.

Guru yang lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru mendapat sertifikat pendidik.

Apa yang harus dilakukan? Menyimak dari pengalaman pelaksanaan sertifikasi di berbagai negara, maka akan muncul pertanyaan. "Bagaimana agar sertifikasi bisa meningkatkan kualitas kompetensi guru?" Dan apabila gagal, "mengapa sertifikasi gagal meningkatkan kualitas guru?" Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru. Sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu tujuan, yakni keberadaan guru yang berkualitas. Kegagalan dalam mencapai tujuan ini, terutama dikarenakan menjadikan sertifikasi sebagai tujuan itu sendiri.

Bagi bangsa dan pemerintah Indonesia harus senantiasa mewaspadai kecenderungan ini, bahwa jangan sampai sertifikasi menjadi tujuan. Oleh karenanya, semenjak awal harus ditekankan khususnya di kalangan pendidik, guru, dan dosen, bahwa tujuan utama adalah kualitas, sedangkan kualifikasi dan sertifikasi merupakan sarana untuk mencapai kualitas tersebut.
JAMINAN MUTU

Adakah jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas kompetensi guru? Ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara mendalam untuk memberikan jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas kompetensi guru.

Pertama dan sekaligus yang utama, sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Sertikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standard kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi.

Kedua, konsistensi dan ketegaran pemerintah. Sebagai suatu kebijakan yang merentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat akan mendapatkan berbagai tantangan dan tuntutan. Paling tidak tuntutan dan tantangan akan muncul dari 3 sumber. Sumber pertama adalah dalam penentuan lembaga yang berhak melaksanakan uji sertifikasi. Berbagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya dari fihak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta akan menuntut untuk diberi hak menyelenggarakan dan melaksanakan uji sertifikasi. Demikian juga, akan muncul tuntutan dari berbagai LPTK negeri khususnya di daerah luar jawa akan menuntut dengan alasan demi keseimbangan geografis. Tuntutan ini akan mempengaruhi penentuan yang mendasarkan pada objektivitas kemampuan suatu perguruan tinggi. Ketegaran dan konsistensi pemerintah juga diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan sekaligus tantangan bagi pelaksana Undang-Undang yang muncul dari kalangan guru sendiri. Mereka yang sudah senior atau mereka para guru yang masih jauh dari pensyaratan akan menentang dan menuntut berbagai kemudahan agar bisa memperoleh sertifikat profesi tersebut.

Ketiga, tegas dan tegakkan hukum. Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan muncul berbagai penyimpangan dari aturan main yang sudah ada. Adanya penyimpangan ini tidak lepas dari adanya upaya berbagai fihak, khususnya guru untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas. Penyimpangan yang muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh karenanya, begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas. Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari lembaga yang dimaksud, atau menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji sertifikasi, dan lain sebagainya.

Keempat, laksanakan UU secara konsekuen. Tuntutan dan tantangan juga akan muncul dari berbagai daerah yang secara geografis memiliki tingkat pendidikan yang relatif tertinggal. Kalau UUGD dilaksanakan maka sebagian besar dari pendidik di daerah ini tidak akan lolos sertifikasi. Pemerintah harus konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standard nasional yang harus dipatuhi. Toleransi bisa diberikan dalam pengertian waktu transisi. Misalnya, untuk Jawa Tengah transisi 5 tahun, tetapi untuk daerah yang terpencil transisi 10 tahun. Tetapi standard tidak mengenal toleransi.

Kelima pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan anggaran yang memadai, baik untuk pelaksanaan sertifikasi maupun untuk pemberian tunjangan profesi.
PEMBINAAN PASCA SERTIFIKASI

Pembinaan guru harus berlangsung secara berkesinambungan, karena prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a learning person, belajar sepanjang hayat masih dikandung badan. Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan prosionalitasnya sebagai guru.

Pembinaan profesi guru secara terus menerus (continuous profesional development) menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu kelompok kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) untuk tingkat sekolah menengah. Aktifitas guru di KKG/MGMP tidak saja untuk menyelesaikan persoalan pengajaran yang dialami guru dan berbagi pengalaman mengajar antar guru, tetapi dengan strategi mengembangkan kontak akademik dan melakukan refleksi diri.

Desain jejaring kerja (networking) peningkatan profesionalitas guru berkelanjutan melibatkan instansi Pusat, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota serta Perguruan Tinggi setempat.

P4TK yang berbasis mata pelajaran membentuk Tim Pengembang Materi Pembelajaran, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi bertugas:
menelaah dan mengembangkan materi untuk kegiatan KKG dan MGMP
mengembangkan model-model pembelajaran
mengembangkan modul untuk pelatihan instruktur dan guru inti
memberikan pembekalan kepada instruktur pada LPMP
mendesain pola dan mekanisme kerja instruktur dan guru inti dalam kegiatan KKG dan MGMP
LPMP bersama dengan Dinas Pendidikan Propinsi melakukan seleksi guru utk menjadi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Propinsi per mata pelajaran dengan tugas:
menjadi narasumber dan fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
mengembangkan inovasi pembelajaran untuk KKG dan MGMP
menjamin keterlaksanaan kegiatan KKG dan MGMP

Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota melakukan seleksi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Kab/Kota dan membentuk Guru Inti per mata pelajaran dengan tugas:
motivator bagi guru untuk aktif dalam KKG dan MGMP
menjadi fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
mengembangkan inovasi pembelajaran
menjadi narasumber pada kegiatan KKG dan MGMP

KKG dan MGMP sebagai wadah pengembangan profesi guru melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi profesi guru.
PENUTUP

Upaya yang sungguh-sungguh perlu dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang profesional: sejahtera dan memiliki kompetensi. Hal ini merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, di mana pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan kemakmuran dan kemajuan suatu bangsa.

Undang-Undang Guru dan Dosen telah hadir sebagai suatu kebijakan untuk mewujudkan guru profesional. UUGD yang menetapkan kualifikasi dan sertifikasi akan menentukan kualitas dan kompetensi guru. Namun demikian, pelaksanaan sertifikasi akan menghadapi berbagai kendala. Di samping persoalan biaya, berbagai tantangan dan tuntutan juga akan muncul. Bagaimana cara pemerintah menghadapi tantangan dan tuntutan ini, akan menentukan apakah sertifikasi akan berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru.

Surabaya, 28 April 2007
Makalah disampaikan pada seminar pendidikan yang diselenggarakan oleh PPS Unair, pada tanaggal 28 April 2007 di Surabaya

Fasli Jalal, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional


SUMBER:
Departemen Pendidikan Nasional (2006) Undang-undang Republik Indonesia, No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Draft Permendiknas tentang sertifikasi.

BOOK REVIEW "LANGUAGE, CULTURE, AND EDUCATION: A PORTRAIT OF CONTEMPORARY INDONESIA"

BOOK REVIEW
LANGUAGE, CULTURE, AND EDUCATION: A PORTRAIT OF CONTEMPORARY INDONESIA
Writer : A. CHAEDAR AL-WASHILAH
REVIEWER : Jasman Syah


Language is a symbol of a country. As a symbol of a country, it should be kept and also developed time to time. It is important because language plays an important role in terms of communication and interaction with another country in the world. By mastering of language, we could compete with another country. Language here not means of Indonesia only, but for whole kinds of languages in the world, includes English.
Most of advanced and develop country in the world uses English as communication and interaction media. As International language, English should be priority in teaching and learning, if we want success in global competition. Our generation must be inherited by such kinds of skills, particularly in English expertise. If Indonesia want to be a winner or at least be able to compete in this era, our generation should be supplied by English in term of speaking, writing, reading listening etc.
Our country have tremendous problem with language education. The outcome of our education recently is very low instead of another countries. There are such factors that influence of this phenomena. The main factor actually is the lack of teachers’ proficiency in teaching language for students. Moreover, our government should be faster to anticipate this phenomena. Some anticipation steps like the improvement of an appropriate curriculum, enhance of teachers/lectures proficiency, preparation of proper media or learning equipments must be fulfilled soon.
Such phenomena in terms of language education that explain before is highlighted seriously by Mr. Prof. DR. Chaedar Alwasilah, MA.. In his article collections, he wrote such phenomena that had been faced by our language education. He is not only criticize some language educations phenomena, but also offered such solutions to overcome of the problems. The collection of his articles then published become a small book entitled Language, Culture and Education: A Portrait of Contemporary in Indonesia.
Commonly, this book is divided into two main issues, language education and education and culture. In this occasion, I’ll try to review of his article collections in terms of language education. This part consists of twenty English articles with different tittles. All of them based on such language educations phenomena in Indonesia. Those articles were published by a national English newspaper, namely The Jakarta Post. It was published in different time for several years ago.
Such investigations indicate that teaching and learning language in Indonesia has been fail. True or not, this report have injured our heart and feeling. However, this is a real phenomena. For instance, at least six years our students learn English, what is the result? Satisfying or disappointing? To gain a real answer of this question should be observed from some point of view. Nevertheless, we may not find a black goat, who is responsible to this problem. Government, teacher, curriculum, student, or ………?.
The downfall Soeharto’s regime marked a new era is called reformation era. This new era is one of openness and transparency, where almost all social ills and injustices are subject to public discussion. In this era, government is expected to find out a suitable solution to overcome this problem. As well as government, the educators who connects directly with students, should reform themselves. They should be creative and innovative in term of teaching students. Teacher also must have high curiosity by learning again and again in terms how to teach language well and effectively. They could learn from many other recourses, such as books, experiences, students, colleagues, environment etc.
As a citizen of this country, we might be little bit proud, because Indonesia has been taught in several countries in the world. In one hand we are glad to hear the information. On the other hand it could create new problem. Why?. The belief of some countries to learn Indonesia should be paid by our readiness in teaching it to them. We must prepare a professional teacher to teach Indonesia, prepare a good textbooks, arrange a good strategies etc. As well as English as foreign language (EFL) that we are going to learn In Indonesia, Indonesia as foreign language (IFL) also have to teach professionally.
In one hand we are gland to hear information that Indonesia has been learned by foreigner students in abroad. On the other hand we are sad and also disappointed to look at the condition of Indonesian students even though teachers in mastering of English skills, writing in particular. Number of teachers or lectures who writes and published textbook each year in Indonesia is very limit. If we compare with some countries in the world, even in South East Asia (Asia Tenggara), it is extremely apprehensive. Actually, they are not lazy to write, but they do not have ability to write.
The weakness of teachers/lectures in writing, indirectly affect to students. Mostly students are not able to write as well their teachers/lectures. In the classroom, students are never taught and trained in writing skill. Teachers more interested to teach how to write theoretically, by neglecting practice of writing. Meanwhile, in writing skill should be established to practice rather than giving theory of writing.
The teaching of writing skill should be started since early. It is important because mostly students are interested and have high willingness in writing. Since children, they begin to write anything, whether in paper even on the wall. It indicates that they have high motivation to increase their skill in term of writing. Survey of writer indicates that in teaching writing, teachers are rare to allocate more time to practice of writing. They more focuses on teaching students in language forms, grammar, theory how to write etc.
The other affect of the weakness in writing skill, enable them to plagiarize from one’s writing when they are give an assignment based on writing. It is done by all levels of students. From SMP students to university, plagiarism is considered as a good habit. They do not perceived be sinful they copy someone’s writing in a certain topics and claim that it is theirs. It academic theft, namely claiming that an idea or the expression of it yours, when in fact it is somebody else’s.
Another issues from this book is teaching literature at school. Writer assumes that teaching literature at school recently is rare and should be developed. Students do not know some famous people in literature field. They do not know who is Sutarji Calzoem Bachri, Goenawan Muhammad, Saini KM, Renda and many others. In this case, writer reveals that most children will not become professional literary scholar like H.B. Yasin an the the late of St. Takdir Alisajahbana, but at least students should be introduced who is HB Yasin is, St. Takdir Alisajahbana is, and also their magnum opus. Students should be introduced some poems, short stories, novels that was written by well known man of letters in Indonesia.
Talking about the weaknesses language education in Indonesia is never ends. There are too many problems that should be accomplished soon. Everyone should look for solutions in terms of how to overcome our educational problem. Government, educators, students must walks together to find out a medicine to prevent the ills that is suffered by language education in Indonesia. Faster or later, Insya Allah, it will be better soon.
This book is very admirable. His professor in Indiana University Sharon L. Pugh admire his opus. He admires writer based on his articles by giving comment in the back cover of this book. His partner Fuad Abdul Hamid, professor of education in UPI also states that Dr. Alwasilah’s article in TJP have always been persuasive and entertaining. Very informative and well written, they have produced brilliant, witty arguments on current issues in Indonesia education in general, and linguistics matter in particular.

APA YANG BISA DILAKUKAN OLEH PUISI?

APA YANG BISA DILAKUKAN OLEH PUISI?
By: EVE MERRIAM



“Puisi adalah buku musik yang mudah dibawa sendiri, seperti sebuah radio transistor yang dapat anda bawa kemana saja”

TIDAK ADA SAJAK UNTUK PERAK, tapi puisi dapat melakukan semua hal yang anda inginkan. Ia bisa serius atau bergembira dan bersemangat, bahagia dan sedih—sebagaimana anda mengubah suasana hati anda sendiri. Faktanya, puisi sangat banyak yang memahami diri anda, dan hal tersebut sangat alami, karena didalam tuduh anda ada sajak: dalam nadi, detak jantung, saat anda bernafas, tertawa, atau menangis: dan ketika anda berbicara. Ketika anda berlari atau menghentakkan kakimu—bahkan ketika anda duduk dan menari dengan penuh perasaan—ada irama dalam sebuah puisi. Setiap hari, banyak sajak-sajak disekitar kita, di dalam hidup kita, kemana saja kita pergi, tanpa sadar puisi menjelma dan membawa sajak musik yang terpendam di dalam diri anda. Ada irama yang luar biasa pada saat terjadi perubahan musim. Perjalanan sehari-hari anda saat cerah (siang hari) dan kegelapan (malam hari). Irama motor hasil rekayasa manusia. Pasang surut; putaran pertumbuhan benih; pengalaman manusia akan kehidupan, kematian, dan bangkitnya generasi baru.
Hal ini dibangun dalam sajak atau meter, ia disebut demikian karena ia dapat terukur dengan baik, bahwa puisi berbeda dengan prosa. Puisi adalah buku musik yang mudah dibawa sendiri, seperti sebuah radio transistor yang dapat anda bawa kemana saja. Tinggal hidupkan, cari gelombang dan dengar suara musiknya: dan puisi akan menyuguhkan anda nada-nada yang tinggi, rendah, cepat dan juga lambat.
Bagaimana puisi menciptsksn semua dampak ini? Irama atau meter sangat sering melewati setipa akhir sajak. Sajak bak sebuah genta yang berdering pada waktunya—seperti halnya bel mesin ketik kecil yang berdenting pada setiap akhir baris. Dia bisa serius, seperti halnya deru nafas yang mendekati kematian, dia juga bisa bahagia bak mata air, sayap, dan menyanyi; dia juga bisa lucu. Thomas Bailey Aldrich, dalam Story of a Bad Boy, menyatakan bahwa sajak puisi kesukaannya adalah Root beer/Sold here. Salah satu rime yang paling pendek di dunia, adalah ketika anda menyaksikan rambu-rambu lalu lintas di simpang jalan: jalan/perlahan. Tidak semua puisi memiliki sajak; sajak yang kosong dan bebas tidak punya. Tapi sajak di akhir baris seperti tali yang mengikat suatau kemasan / paket. Ia menjaga segala sesuatu dengan rapi an pada saat yang bersamaan memberikan ruang udara yang memadai.
Hal lain yang menarik adalah puisi bisa mengungkapkan dirinya, yang dalam istilah musik hal tersebut dilakukan melalui aliterasi. Ketika konsonan atau vokal yang sama tidak nampak, itulah alliterasi. Dia bisa kecil, panjang, dan bagus; manis, rapi, jorok; tegas, berani. Atau dapat juga terlihat ditengah-tengah kata, atau mendekati akhir kata; dan kadang-kadang harus memperhatikan dengan seksama baru bisa menemukannya, dan hal tersebut jauh dari kebiasaan bak kebun jeruk. Tapi ingat bahwa ada pengaruh dari musik. Ketika anda membaca puisi, ada bisa menemukan sesuatu yang berharga dan hurup aliterasi sepanjang baris.
Hal ketiga adalah puisi dapat dibangun dalam musik membuat dia terdengar melalui pengulangan kata-kata, atau semua prase. Mereka menggunakan secara berlebihan (dan kadang-kadang sangat berlebihan!) seperti melodi yang sering kali terdengar, sehingga anda mengenalnya seperti halnya teman dekat anda. Pengulangan tersebut dapat menenangkan anda dalam beristirahat: ‘hushaby, hushaby, tidur, anakku, tidur.” Atau dia bisa mengagetkan anda saat terbangun “clang, clang, suara gemerincing yang tertuju canang; bang, bang, suara keras yang tertuju pada drum.”
Anda bisa membuat musik jenis apapun dengan puisi. Anda juga bisa melukis foto/gambar. Dalam puisi, foto atau gambar itu disebut word-images (tamsilan kata). Setiap hari kita semua menggunakan tamsilan kata ketika berbicara. Kita mengatakan “panas seperti nyala api” atau “dia lamban bak tetesan air” atau “kita mengatakan “hatiku berada di mulutku” atau “saya rasakan semua bulu kudukku berdiri (ngeri)”. Beberapoa diantara kata perumpamaan tersebut telah begitu sering digunakan sehingga sering disebut klise. Puisi mencoba menciptakan kata-kata dan gambar baru. Daripada mengtatakan panas bak nyala api, dingin bake es, lamban bak tetesan air, puisi mencari perumpamaan baru untuk kata panas, dingin dan lambat.
Sebagaimana anda membaca lebih banyak puisi, dan mungkin anda menulis beberapa diantaranya, anda akan menemukan beberapa bentuk kata, atau perumpamaan, melukis sesuatu mungkin merupakan cara yang mereka lihat, dan beberapa diantara mereka melukis sesuatu yang bertentangan—agak mirip dengan cerita Dewa Janus Romawi, yang namanya diabadikan sebagai nama bulan pertama masehi, dan selalu melihat kepada yang tua dan kepada sesuatu yang baru pada saat yang bersamaan. Perumpamaan pada sebuah puisi bisa sesuai dengan apa yang sedang digambarkan, sehingga ia merasa seperti dirumah dan seperti pasnya topi yang nyaman di kepala; lebih sering, dia nampak asing dan tidak diharapkan awalnya, sebagaimana juga ketika angin tiba-tiba menerpa dengan keras topi yang ada di kepala.
Anda bisa bikin musik dengan puisi. Anda bisa melukiskan berbagai macam keadaan. Anda juga bisa menjadi tukang pahat/ahli patung yang mengukir kayu kedalam bentuk yang bermacam-macam. Anda dapat menciptakan kata-kata tersebut dalam gemercik puisi seperti air mancur, seperti “the musty fust of a dusty road.” Anda bisa mengganti kata-kata tersebut ke dalam rangkaian kata-kata/kalimat yang sukar diucapkan. Anda bisa bermain game kartu dengan kata-kata yang ada dalam puisi, menggunakan sajak bak bola yang terlempar ke belakang dan sebaliknya. Kenayataannya, semua jenis games itu mungkin anda lakukan dengan puisi.
Puisi menyebabkan anda sadar akan bahasa, sehingga dalam prosa pun anda dapat menikmati penggunakaan kata-kata lebih banyak karena anda mengetahui tipu daya apa yang dapat mereka lakukan dan apa yang tidak bisa mereka lakukan. Juga, karena puisi bisa disingkat / dipadatkan dan meyebabkan setiap kata dapat terhitung—seperti halnya telegram—ia dapat membantu anda melakukan latihan-latihan untuk merenggangkan kelima indra anda. Ketika anda membaca puisi, anda juga mencium bau tekstur kata-kata. Anda juga harus mampu melihat, mencium, mendengar, meraba bahkan merasakan dengan cara lebih mendalam akan puisi itu sendiri.
Anda bisa menulis puisi tentang banyak hal. Tentang segala sesuatu di dunia, dengan sebenar-benarnya. Puisi dapat mengungkapkan suasana hati anda atau mengajak anda keluar dari permasalahan tersebut. Walaupun pada awalnya terlihat menyenangkan, bahkan jika anda merasa sedih atau sepi, ketika anda membaca puisi yang bercerita tentang kesendirian dan kesepian, anda akan merasa bahwa emosi anda akan berlebihan, tapi anda juga akan merasa lebih bahagia untuk membagi pengalaman akan puisi tersebut dan untuk mengetahui bahwa anda tidak terisolasi dalam suasana hati anda. Puisi laksana pertolongan saat hujan badai menerjang, memandang awan dengsan seksama; dan setelah hujan badai menerjang, langitpun menjadi bersih.
Anda tidak akan bisa “mendapatkan” semua isi puisi saat anda membaca pertama kali, karena kata-kata dan musik yang ada di dalamnya begitu terkonsentrasikan. Jangan bairkan hal terseburt mencemaskan anda; baca terus sampai akhir dan kembali lagi untuk membacanya. Anda akan menemukan bahwa makna sesungguhnya akan terlihat karena seringnya dibaca. Untuk sebuah puisi, dengan pengaruh irama dan penggunakaan gambar kata, memilki sesuatu yang lebih untuk di baca dengan seksama. Ia laksana sebuah batu yang anda buang ke danau; riaknya melebar. Makna baru terlihat, dan anda akan merasa senang karena menemukan makna baru setiap saat.
Untuk kembali ke pertanyaan awal, apa yang dapat dilakukan oleh puisi? Hanya tentang segala sesuatu—walaupun tidak ada sajak pada perak.

Penulis,